21 December 2010

penolakan.

"I'm not good enough for you"
Irfan melontarkan kalimat tersebut pada kekasihnya. Sudah hampir satu tahun dia menjalin hubungan dengan Jennifer, namun karena merasa tidak lagi cocok ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Nah, tanpa sengaja saya kembali bertemu dengan Irfan. Dan dia pun kembali curcol sama saya soal hubungannya dengan si Jennifer.


Kenapa deh kalimat mutusinnya kaya gitu? Irfan bilang, dia nggak mau nyakitin perasaan Jennifer. Makanya dia berusaha memutuskan Jennifer dengan cara halus.

Hmm *angguk-angguk*
"Kenapa bell? Salah ya? Habis gimana dong? Gw ngomong gitu aja dia udah nangis-nangis ga mau diputusin."
Yah, bukan salah atau benar sih. Gw kepikiran konsep penolakan aja sih tiba-tiba. Kalau kita nolak sesuatu, orang yang kita tolak bakal ngerasa sedih atau senang? Terlebih dalam hubungan (cinta).


Misal, waktu itu si A suka banget sama si B. Tapi si B nggak ada rasa sama sekali untuk si A. Nah, pas si A nembak si B, si B menolak dengan halus permintaan si A untuk menjadikan dirinya sebagai kekasih. Menurut loe, meski si B menolak dengan halus 'tembakan' si A, apa si A nggak bakal sakit hati?

Sempat terpikir mengenai konsep penolakan. Bukankah kata penolakan atau tolak itu sendiri sudah memiliki muatan negatif ya? Jadi bagaimana bisa ada konsep penolakan secara halus? Mau halus atau keras, pastinya orang yang mengalami penolakan akan merasakan sakit hati bukan?

Sekarang loe mutusin si Jennifer dengan kalimat,"I'm not good enough for you". Kenapa loe bilang begitu ke dia setelah satu tahun pacaran? Loe baru sadar, kalo loe nggak cukup baik buat jadi pendamping dia?
"Hmm. Bisa dibilang begitu sih bell. Lagian, gw nggak mau nyakitin perasaan dia juga gitu."
Mau kata loe bilang ke dia kaya gitu. Di mata dia, loe terlihat cukup baik aja loh menurut gw. Kenapa? Soalnya loe pacarnya! Kalian terikat dalam satu relasi cinta dikarenakan kalian merasakan hal yang sama, yaitu, cinta. Saat dia menerima cinta loe, dan loe menerima cinta dia, maka dapat dikatakan kalian berdua menerima satu sama lain. Ketidakcocokan yang ada seharusnya tidak menjadi kendala, karena kalian telah satu sama lain menerima perasaan cinta kalian masing-masing.


Dia nangis kan waktu loe putusin kaya gitu? Yah, karena mungkin dia nggak mau kehilangan loe, dan mungkin juga dia merasa loe sudah cukup baik buat dia. Inget lagi konsep penolakan, mana ada sih nolak tapi nggak bikin sakit hati?
"Jadi mending gimana dong bell? Emang sih dia minta gw berpikir lagi sebelum ambil keputusan final soal hubungan kita."
Well, loe mutusin dia secara halus tanpa kasih alasan yang jelas kan buat dia? Daripada begitu, mending loe putusin dia dengan kasih juga alasan yang jelas, biar clear jadinya. Toh, sama-sama bakal ngerasa sakit hati juga kan dia?


Tapi bukan berarti cinta itu menyetujui konsep sado-masokis ya. Tapi memang cinta itu mengandung banyak ekspresi yang kadang sulit sendiri kita deskripsikan (menurut gw looh). Loe bilang diri loe nggak cukup baik fan buat si Jennifer, apa dia juga ngeliat itu demikian?
"Hmm, nggak tau juga sih bell. Tapi kalo liat dia nangis-nangis gitu pas gw putusin. Berarti gw emang sangat penting dong ya buat dia? Ah, tapi dia kan matre bell!"
Duh, Irfan, mending emang loe putus aja deh kalo menurut gw. Soalnya susah juga nih kalo loe sendiri udah nggak suka sama salah satu sifat dia. Cinta itu menerima apa adanya loh fan. Loe cinta dia karena memang 'cinta' atau karena apa sih emangnya? Sampe sifat matre dia itu bikin loe eneg banget kayanya. Emang sih bakal menguras dompet loe juga kalo begitu.


Gw jadi mempertanyakan konsep cinta bagi loe. Apakah keberadaan si Jennifer ini adalah alasan buat loe terus mengada dalam ruang dan waktu? Apakah dia pelengkap keberadaan loe di dunia ini? Jawabannya sih ada pada loe fan. Gw sendiri juga masih mencari-cari makna cinta buat diri gw. Dan memang lagi tertarik banget mengkaji cinta.
"Hoo begitu. So gimana nih bell? What should i do?"
Jujurlah. Mau apa lagi?

Loe sudah lama tidak jujur dengan perasaan loe ke dia. Loe nggak suka sifat matre dia, tapi loe diem aja. So, sekarang, kalau mau mutusin dia, yah berikan juga alasan yang jujur bukan gantung dan ga jelas.

Duh, fan. Sorry banget nih, gw kurang mempersiapkan diri dengan bahan-bahan mengenai cinta menurut pandanga filsuf-filsuf. Jadinya jawaban konsultasi gw agak dangkal. Hanya hasil berpikir gw doang waktu lagi dapet inspirasi di kamar mandi.
"Oh, nggak apa-apa bell. Gw malah dapet pencerahan juga kok diskusi sama loe."
Jadi loe mutusin si Jennifer?

"Ntar gw pikir-pikir lagi deh bell. Gw belum siap kalo harus jujur soal alasan mutusin dia."
Lah begimane deh?! Ntar dompet loe jebol loh!

"Gw belum siap bell, nyakitin perasaan dia.."
Errrr. Kalo kata Oscar Wilde nih, "The heart was made to be broken."

Jadi siap-nggak-siap, itu tergantung sama kita-nya, karena hati kita memang dibentuk untuk mengalami situasi apapun dan seperti apapun. #ngalorngidul

Udah dulu ya fan, gw lagi random banget nih.
Hati gw berasa habis kena bazooka.
Bolong, kosong, melompong.
Mau nge-galau dulu deh.
Gw doakan yang terbaik deh buat loe dan si Jennifer!

20 December 2010

cinta permukaan

"Aku rasa kita sudah nggak cocok lagi deh."
Kalimat di atas adalah kalimat yang dilontarkan Irfan kepada Jennifer setelah mereka berpacaran selama satu tahun. Sudah satu tahun berlalu, Irfan baru ngomong begitu sama si Jennifer. Lah emang kemana aja sampai baru bisa ngomong kaya gitu setelah satu tahun dalam masa pacaran berlalu? *lirik Irfan*
"Habis gimana dong?! Gw baru ngerasa kita nggak cocok satu sama lain! Dia nggak seperti yang gw harapkan pas masa pedekate dulu."
Begitu curcol Irfan pas ditanya kenapa baru mutusin pas udah jalan setahun. Hadeh, ini nih yang harus diwaspadai. Mencintai seseorang tidak berdasarkan pada kenyataan yang ada. Kenapa sih loe dulu jatuh cinta sama Jennifer?
"Di mata gue, Jennifer itu cantik banget. Dia pintar dan rajin belajar, baik dan perhatian, suka menolong teman-temannya. Perfect-lah pokoknya! Makanya gw jatuh cinta banget sama dia. Tapi, pas udah pacaran, duh, keluar deh aslinya. Doi matre banget meen!"
Ck, ck, ck. *geleng-geleng kepala*

Apakah alasan seperti itu juga terjadi kepada kita? Bukankah seharusnya dalam mencintai itu kita juga harus mencintai setiap kekurangan orang yang kita cintai? Kasus Irfan dan Jennifer adalah contoh bagaimana cinta pada permukaan seringkali berakhir pada perpisahan.

Disadari atau tidak, ketika kita jatuh cinta, sosok orang yang kita cintai akan terlihat sangat "WOW" di mata kita. Entahlah dalam bentuk apapun, meski dia lagi ngupil, mungkin akan terlihat "WOW". Tapi itu keterlaluan sih kayanya. -____-

Gw sempat berpikir, apakah konsep mencintai itu diawali atau bahkan berkaitan erat dengan konsep mengagumi. Dari hasil kontemplasi, terpikir bahwa konsep jatuh cinta yang memang erat kaitannya dengan rasa mengagumi. Menurut gw, ketika seseorang jatuh cinta, meskipun eksistensi dari orang yang kita cintai berada setara dengan kita. Tapi dalam konsep rasa, eksistensi orang tersebut berada setingkat atau bahkan lebih di atas kita. Orang yang kita cintai akan terlihat 'lebih' di mata kita.

Tanpa sadar saat kita jatuh cinta, kita menciptakan konsep ideal dari sosok orang yang kita cintai. Dikarenakan rasa suka yang kita miliki, maka setiap gerak-gerik ataupun perilaku orang yang kita suka/cintai akan coba kita perhatikan. Disadari atau tidak, ada dorongan dari dalam diri yang mendorong kita untuk mengetahui jauh lebih dalam tentang orang yang kita suka/cintai tersebut.

Dan apapun gerak-gerik orang yang kita suka itu kadang membuat kita dibutakan oleh apa yang kita lihat dan kita rasa. Jadi, bener dong cinta itu buta?
Eits, sebentar.
Siapa sih yang bilang cinta itu buta?
Menurut gw, Cinta itu abstrak. Dan kompleks malah kalo menurut gw.

Jadi, cinta itu bikin kita buta?
Alah. Dibutakan oleh cinta kali maksudnya?
Wah, kalo itu sih balik lagi ke masing-masing individu.
Yakin dibutakan oleh cinta?
Bukan diri kita sendiri yang justru membutakan diri sendiri hanya karena satu rasa yaitu, cinta?

Irfan, menurut gw, loe terperangkap dalam satu konsep tentang Jennifer yang loe ciptakan sendiri. Loe melihat dia dengan kacamata positif (bukan berarti loe silinder), maksud gw, loe melihat segala apapun tentang Jennifer sebagai sesuatu yang terlihat "WOW", semua terlihat sangat indah di mata loe. Sekalipun loe tau soal kekurangan dia yang pernah loe denger dari temen-temen loe ataupun loe lihat sendiri. Bener nggak? Kalo nggak, yaudahlah ya, dengerin aja apa kata gw.

Loe nembak si Jennifer karena rasa suka atau rasa jatuh cinta yang mendorong loe untuk memiliki dia dengan segala keindahan yang loe lihat. Loe nggak melihat kekurangan dia sebagai sesuatu yang negatif, loe (pinjem istilahnya Bung.Sartre) 'menidakan' segala kekurangan Jennifer yang loe lihat ataupun loe tahu. Sehingga, saat loe berada dalam satu relasi dengan Jennifer dan merasakan ada yang berbeda dari konsep Jennifer yang loe pernah buat, loe merasakan ketidakcocokan itu. *Irfan ngangguk-ngangguk*

Jangan ngangguk-ngangguk aja dong! Nangkep nggak maksud gw?
Inget nggak sama lagu Agnes Monica? Yang dia nyanyi," CINTA INI, KADANG-KADANG TAK ADA LOGIKA!" *dance ala Agnes*

Nah, itu pas tuh sama loe, fan! Loe nggak pake logika loe saat jatuh cinta. Perasaan loe mendominasi diri loe saat jatuh cinta, logika loe jadi nggak kepake karena loe lebih mentingin rasa! Sebenernya sih itu lagu agak gimana juga liriknya, cinta emang punya logika? Duh, keberadaan cinta bukannya abstrak ya?

See? Loe sendiri yang menciptakan perpisahan sejak awal. Loe mencintai seseorang berdasarkan konsep kesempurnaan yang loe buat tentang dia. Rasa, mendominasi diri loe, sampai loe lupa pake logika untuk menyadari kekurangan orang yang loe cintai.

Jauhi deh, konsep cinta permukaan, atau bisa dibilang cinta kulit. Bukan maksudnya loe cinta sama kulit buaya, kulit harimau. Bukan, tapi loe mencintai apa yang terlihat dengan kacamata yang lupa dipasangin gear logika.

Ngomong-ngomong, respon si Jennifer gimana tuh pas loe putusin?
"Dia nangis! Nggak mau putus. Aduh, gimana dong ya? Gw nggak tega juga nih, tapi dia juga hampir membuat aliran dana gw kembang-kempis! Gimana dong bell caranya mutusin dia?!!"
Hadeh. -_____-
Susah. Emang cinta suka bikin cenat-cenut.
Ntar disambung deh obrolan kita.

kajian yang harus dikaji

Cinta.
Apa ada yang salah jika kita mencoba mendalaminya?
Seakan cinta bukan sesuatu yang penting untuk dibahas.

Apakah manusia dapat hidup tanpa cinta?

Jika 'ya' jawabnya, maka jelas sudah cinta pantas sekali untuk dikaji.
Jika 'tidak', maka jelas kebencian pantas untuk dikaji.
Apa lawan cinta selalu benci? *hmm*
Itu nampaknya juga perlu dikaji.

Sempat ada yang menulis,


"The opposite of love is not hate, it's indifference."- Elie Wiesel


Jadi? :)
Renungkan kembali.

Apakah cinta harus selalu memiliki?
Apakah cinta Agape dan Eros harus selalu memiliki relasi?
Apakah cinta ideal itu ada?

Banyak sekali yang harus dikaji.
Sementara ini, ada baiknya saya melihat pandangan setiap orang yang berada di sekitar saya tentang apa itu cinta.

07 December 2010

Death may be the greatest of all human blessings. - Socrates
Kematian.
Siapa yang bisa menghindarinya?
Manusia tidak akan mungkin bisa menghindari kematian.
Kematian.
Bisa jadi sebuah tujuan akhir dalam kehidupan.
Misteri kehidupan tiada akhir terselesaikan dengan kematian.
Kebebasan.
Mungkin bisa tercapai dengan kematian.
Ya, kebebasan dari tekanan dan penderitaan hidup akan hilang, setelah datangnya kematian.
Kebebasan dari penderitaan.
Dibayar dengan kematian.
Saya masih berusaha belajar dan memahami bahwa memang pada akhirnya setiap manusia akan menghadapi kematian. Hanya waktu yang berbeda. Saya mencoba belajar, bahwa ini adalah bagian yang harus dihadapi karena memang semua akan terjadi, cepat atau lambat.
Teruntuk Mbak.Rum/Iyom/Rumsiah, tante saya yang saya kenal jauh sebelum menikah dengan om saya, selamat jalan. Istirahat dengan tenang. Saya ikhlaskan kepergian mbak, saya beryukur Tuhan angkat rasa sakit mbak. Semoga amal ibadah mbak semasa hidup diterima di sisi Allah SWT.

satu cinta, dua tuhan. mungkinkah?

Tak diterima dan tak berkenan di hadapan Tuhan.
Demikianlah opini yang sering terdengar yang tertuju pada pasangan yang berbeda agama.
Benarkah hubungan yang dilandasi oleh CINTA masih memiliki potensi untuk tidak diakui, diterima, dan diperkenankan di hadapan Tuhan?

Jika memang demikian, berarti ada batasan di dalam cinta.
Ada batasan yang menyekat individu dalam hal mencintai dan dicintai.
Batasan yang tak terlihat namun memiliki kekuatan yang besar, hingga mampu memisahkan dua orang yang saling mencintai. Apa batasan itu?

Mudah menyebutnya, namun apakah semua dapat menerima?
Bukankah agama yang menciptakan batasan dalam hal mencintai dan dicintai?
Jika tidak mencintai atau dicintai dengan orang yang memiliki kepercayaan dan iman yang sama dengan kita, maka hubungan tersebut jelas mustahil untuk dijalani.

Bukankah agama yang menciptakan berbagai norma khusus dalam lingkup iman kepercayaan yang harus dipegang teguh oleh orang-orang yang meyakininya?
Salahkah jika saya katakan agama yang membuat batasan dalam cinta?
Mencintai orang yang berbeda agama seakan menjadi hal yang tabu.
Mengapa?
Karena tidak dimungkinkan dalam satu hubungan adanya dua Tuhan bukan?

Mengapa tidak dimungkinkan?
Bagaimana jika dengan adanya dua Tuhan dalam satu hubungan dapat menciptakan toleransi dan keharmonisan yang lebih baik ketimbang satu Tuhan dalam hubungan?
Semua nampak masih buram dan abu-abu.
Biarlah perlahan saya warnai ketidakjelasan ini.

05 December 2010

Cinta Butuh Pengorbanan

Cinta memerlukan pengorbanan.
(Kata siapa? Kata saya tuh barusan)
Siapa sih yang ngga pernah ngerasain beratnya mengorbankan sesuatu?
Apalagi ini demi cinta. *huff*
Berat banget pastinya.

Tapi apa benar cinta selalu membutuhkan pengorbanan?
Yah, kalau mau dilihat secara jelas, tentu saja pacaran mengeluarkan materi kan?
Uang untuk traktir si pacar, uang untuk ongkos anter-jemput pacar, uang untuk ongkos ketemu pacar, uang buat beli pulsa untuk sms-an atau telpon-telponan sama pacar, dll.
Uang, uang, dan uang. Jelas kan kalau cinta memerlukan pengorbanan? (dalam hal ini uang) :p

Lalu apa pengorbanan dalam cinta hanya sebatas uang saja?
Oh, tentu tidak.
Masih banyak bentuk pengorbanan lain. Apa lagi?
Pengorbanan waktu?

Oh, iya ya. Pengorbanan waktu. Bisa aja akan waktu kita buat pacaran itu bisa kita pakai untuk ngerjain hal-hal lain, misalnya : ngerjain tugas, bantuin mama, nemenin papa, dll.
Atau mungkin kita mengorbankan waktu kita untuk bertemu pacar kita?
Mau dibolak-balik, sama saja kan? Kita rela mengorbankan waktu kita buat cinta.

Apa cuma segitu? Jangan lupa sama pengorbanan rasa!
Pengorbanan rasa? Hmm. Apaan tuh?
Siapa sih yang nggak pernah makan ati? Bukan Ati-Ampela yaa!
Tapi HATI! MAKAN HATI! *ih, hati kok dimakan*
Siapa sih yang nggak pernah makan yang satu ini?
Cuma karena hal sepele, kadang kita harus menelan rasa sakit hati yang disebabkan oleh kekasih hati. *sigh*
Meski ntar baikan lagi, tapi tetap saja kan terkadang kita harus mengorbankan perasaan kita buat orang yang kita cintai?

Pengorbanan rasa ini bisa dalam wujud apa pun.
Bisa juga loh, kamu yang sebenernya nggak suka pakai sepatu high-heels, tapi demi pacar kamu, kamu bela-belain pakai. (padahal kamu lebih nyaman sama sepatu kanvas!):

Jadi, cinta selalu membutuhkan pengorbanan dong ya?
Jika dilihat dari beberapa contoh di atas sih bisa dikatakan demikian.

Namun menurut Erich Fromm, seorang filsuf, kita harus mengerti konsep pengorbanan dalam cinta dengan baik dan benar. Jangan salah loh mengartikan 'cinta itu butuh pengorbanan', menurut Fromm, jangan sampai kata 'pengorbanan' justru menjadi kamuflase untuk kita menutupi penderitaan batin kita dalam hubungan kita dengan si kekasih. Bisa jadi karena kita meyakini bahwa cinta membutuhkan pengorbanan, maka penderitaan yang kita alami kita tanggung sendiri dengan dalih tersebut. Yang akhirnya bisa saja membuat kita tersiksa sendiri. Ntar Cinta Ini Membunuhku lagi.

Jadi jangan sampai menyalahartikan kata 'pengorbanan' dalam cinta ya.
Jangan sampai karena kata tersebut, kita malah menjadi individu yang bodoh.
Kalau ada yang bilang,"Cinta itu buta", kamu nggak akan dibuat buta asalkan kamu selalu buka mata dan pakai logika kamu dalam menjalin suatu hubungan.

Yah, memang lika-liku cinta tidak akan pernah habis dimakan waktu. *tsah*
Maksudnya tidak pernah ada waktu yang cukup untuk membahas soal cinta.
Ada saja yang bisa dibicarakan soal hal satu ini.
Untuk soal yang satu ini (pengorbanan) sampai sini dulu deh.
Ntar dibahas lagi kapan-kapan. Hihihihi.

Selamat membaca, silakan berkomentar.
Mari berdiskusi. :)

Referensi : Dewi, Saras. 2009. Cinta Bukan Cokelat. Kanisius: Yogyakarta

01 December 2010

PMPK assignment. *sigh

Why do You create us differently if You only want to be worshipped in one way?
“Cina and Annisa love God and God loves them both.

But Cina and Annisa cannot love each other because they call God by different name."

-Cin(T)a: God is a director. (2009)

Tahun 2009 perfilman indie Indonesia dikejutkan dengan hadirnya film independen yang mengangkat tema perbedaan agama dalam sebuah hubungan yang terjalin antara seorang pria dan perempuan yang memiliki perbedaan usia dan latar belakang sosial-budaya. Cina (18 tahun), keturunan cina-medan, adalah seorang mahasiswa baru jurusan arsitektur yang bertemu dengan Annisa (24 tahun), berasal dari etnis jawa, seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan arsitektur yang tugas akhirnya terhambat karena karirnya di dunia film. Cina dan Annisa bertemu secara tidak sengaja dan ketidaksengajaan tersebut membuat mereka menjalin hubungan pertemanan (yang lalu berkembang menjadi rasa cinta) meski akhirnya harus berpisah. Cina yang beragama Kristen, Annisa yang beragama Islam, saling mencintai satu sama lain, namun mereka harus berpisah hanya karena mereka mencintai Tuhan yang berbeda.

Film indie ini mendapat sambutan hangat dari pecinta film (indie) Indonesia. Para film-maker papan atas Indonesia pun memberikan apresiasi pada film ini. Tema yang diangkat memang terkesan klise, yaitu cinta, namun di sini diangkat pula isu perbedaan agama yang hadir dalam kisah cinta tersebut. Penulisan judul film yang unik, cin(T)a, memiliki daya tarik tersendiri. Huruf ‘T’ besar yang ada di dalam kurung merupakan Tuhan, tokoh sentral yang menentukan alur cerita film ini. Dialog cerdas mengenai argumen tentang Tuhan (yang dilontarkan oleh Cina dan Annisa) menjadi nilai plus tersendiri dalam film ini, bagaimana dua agama yang diwakili dua tokoh melihat problematika hidup, termasuk persoalan cinta. Film ini mungkin saja menjadi representasi dari fenomena cinta dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman budaya dan agama. Berdasarkan pengamatan penulis dari jejaring media sosial, banyak orang yang mengapresiasi film ini dikarenakan memiliki latar belakang kisah cinta yang sama dengan apa yang ada dalam film ini.

Jika dua orang yang saling mencintai tidak dapat bersatu hanya karena perbedaan agama, maka apa itu cinta? Pertanyaan mendasar ini mengusik benak penulis saat menonton film tersebut. Jika dua individu manusia yang saling mencintai tidak dapat bersatu apakah masih dapat dikatakan bahwa ada cinta diantara mereka? Dan bagaimana konsep cinta harus tetap dipercaya meski adanya pihak ketiga yang menjadi alasan ketidakbersatuan dua individu yang saling mencintai (dalam hal ini, pihak ketiga adalah Tuhan)?

Ada sudut pandang yang berbeda dari setiap individu dalam memahami arti kata dan konsep cinta, menurut Simone De Beauvoir, perbedaan situasi eksistensial antara perempuan dan laki-laki merupakan faktor bagaimana seorang perempuan dan laki-laki memahami konsep cinta di antara mereka. Dengan adanya perbedaan paham mengenai konsep cinta, apakah memungkinkan manusia bersatu dalam satu relasi atau ikatan cinta? Erich Fromm meyakini bahwa cinta merupakan hasrat yang paling memuaskan kebutuhan hasrat manusia yang tak terbendung. Dan menurutnya, cinta merupakan bentuk bersatunya individu dengan individu di luar dirinya.

Film cin(T)a merepresentasikan kisah cinta yang tidak dapat menemukan win-win-solution dalam pasangan berbeda agama. Larangan dan hal ke-tabu-an dari ajaran agama, seakan menjadi sebuah prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat dalam melihat pasangan berbeda agama. Tidak direstui, tidak diterima, tidak berkenan di hadapan Tuhan, demikianlah opini umum masyarakat pada pasangan yang berbeda agama. Mencintai Tuhan yang berbeda seakan menjadi penghalang bagi dua individu yang saling mencintai untuk bersatu. Pilihan eksistensial terlibat dalam hal ini, manakah yang harus dipilih untuk dicintai? Tuhan yang kita cintai atau individu lain yang kita cintai yang mencintai Tuhan yang berbeda dengan kita?




23 November 2010

Lovember, where's the new post?

Hello.
Sudah bulan November (Lovember?) :p
Belum ada post satu pun di blog ini.
Bahiklah, saya akan post.
Tapi tidak sekarang, karena saya harus persiapkan presentasi hari kamis.

Mau ngomongin apa nih ntar?
Yuk kita ngomongin Love, karena kan ini bulan Lovember. *ngasal*
Tapi sekali lagi, nggak sekarang. Ntar ya. :p

See ya!

11 September 2010

THR makes me crazy.


Getting frustrated to find this novel. :(
THR (Tugas Hari Raya) buat mata kuliah Hermeneutika, baca novelnya lalu tulis dengan metode Hermeneutik. Dikasih pinjam sama dosennya novel bahasa inggrisnya, sedangkan yang foto diatas itu cover novel bahasa indonesianya. Dosennya punya loh yang bahasa indonesia, tapi ngga mau ngasih pinjam yang itu. Deadlinenya tanggal 21 September 2010. :(

Oh, belum kasih info ya, itu novelnya Milan Kundera, berjudul The Unbearable Lightness of Being. Gw cek ke beberapa Tb.Gramedia yang cukup besar di Jakarta, semua bilang stock kosong, dan terakhir masuk ke Gramedia tahun 2008. Novelnya (untuk yang berbahasa Indonesia) diterbitkan tahun 2007 oleh penerbit FreshBook. Ngga heran kalo sekarang susah banget dicari. :|

Kenapa mati-matian nyari bahasa indonesianya kalau sudah ada yang bahasa inggrisnya? ya ampon, siapa deh yang mau susah? ini novel filsafat, coy. Agak rempong dibaca. Jadi lebih baik baca yang sudah diterjemahkan ke bahasa ibu dong? ;)

Bagi siapapun yang punya atau yang tahu dimana lokasi penjualan novel ini, harap tinggalkan komen.

09 September 2010

cinta tak harus memiliki (?)

jika cinta tidak harus memiliki. jadi apa arti cinta itu?

jika cinta harus memiliki. jadi apa arti cinta itu?

hanya sebatas 'hak milik'-kah?

jadi masalahnya cinta itu apa ya?

dua orang menjadi satu karena suatu rasa yang sama-sama dimiliki dan dirasa kah?

karena ketika dua orang bilang saling mencintai, maka ada satu keterikatan diantara dua orang itu.

dan tanpa disadari yang satu
akan merasa jadi milik yang lain, begitu juga sebaliknya. jadi sebenarnya dari dulu konsep cinta sudah dekat dengan kata 'memiliki' ya?
Tulisan di atas merupakan salah satu post notes di fb saya. Sempat merasa terdistraksi dengan kalimat,"cinta tak harus memiliki" maka saya menulis notes di atas.

Kenapa tiba-tiba ada konsep memiliki? Kenapa tiba-tiba cinta saya kaitkan dengan kepemilikkan? Bukankah dalam satu hubungan yang tercipta karena cinta memang akan muncul konsep kepemilikkan? konsep keterikatan?
Bagaimana mungkin? yah jelas, status pacaran, pernikahan, itu membuktikan keterikatan antara dua manusia yang saling mencintai.
Keterikatan jelas akan menimbulkan 'hak milik'.

Simpelnya,

Si A pacaran sama si B. Suatu hari, A bertemu dengan C.

C : "eh gw denger loe udah pacaran sekarang?"

A : *shy-shy-cat* "iya"

C : "sama siapa?"

A : "sama si B"

C : "oh jadi sekarang loe pacarnya si B"

Dari obrolan singkat si A dan si C, ada konsep yang tersampaikan. Si A pacarnya si B. Secara tidak langsung, tersirat, si A itu sekarang miliknya si B, si B itu sekarang miliknya si A. Kenapa begitu? Yah kan mereka pacaran coy. Lah terus kenapa kalau mereka pacaran? Yah berarti mereka saling memiliki dalam ikatan cinta coy.

Saling memiliki?

Jadi orang-orang dalam suatu hubungan itu saling memiliki dong ya? (dengan/tanpa cinta?)

Jadi jelas kalimat, "cinta tak harus memiliki" itu agak kurang bisa direalisasikan (mungkin). Pastinya hasrat manusia untuk tidak memiliki apa yang diinginkan agak sulit untuk dibendung.

Namun memiliki dalam bentuk konsep? Jelas itu mungkin sekali untuk dilakukan. Makanya kan ada yang disebut dengan Cinta Platonis.
Tapi apakah mungkin sanggup? Mencintai konsep belaka?

Biarlah angan dan nalar kita menjawab menurut apa yang kita yakini.

08 September 2010

cinta platonis (?)

C I N T A


Lima huruf, satu kata, beberapa arti, berjuta rasa.
Urusan cinta memang ngga ada matinya deh kayanya cuy. :)
Ada aja problematika cinta dalam kehidupan manusia. Tapi ga selalu melulu problematika sih.

Jadi inget yang namanya 'Cinta Platonis', sebelumnya pernah ngepost sih soal ini di blog lain.
Berikut post-an singkat yang pernah dibuat soal 'Cinta Platonis',

Plato, filsuf yunani kuno, terkenal dengan pemikiran dunia idea-nya. Plato sendiri tidak pernah menyebutkan kata ‘ide/idea’ dalam setiap ‘pikiran’ yang dituangkannya, melainkan para filsuf-filsuf penerusnya-lah yang menulis tentang ajarannya di masa yunani kuno itu-lah yang melahirkan kata ide/idea’ pada pemikiran Plato. ‘

Yang riil adalah yang tidak riil. Yang nyata adalah yang tidak nyata. Begitulah ringkasnya inti ajaran meyakini bahwa yang ada di dunia nyata saat ini, yang merupakan materi/material, bukanlah sebuah dunia yang nyata melainkan dunia yang fana/tidak nyata.

Semua materi yang ada di dunia nyata hanyalah sebuah ‘alat bantu’ untuk memasuki dunia yang riil menurut Plato, yaitu dunia idea (dunia yang tidak riil yang ada di dalam idea. Dunia idea tidak diciptakan oleh manusia, dunia idea sudah ada jauh sebelum ada manusia.)

Berdasar dari konsep ide/idea Plato itulah, cinta termasuk sesuatu yang tidak bisa dimiliki oleh manusia secara sempurna di dunia nyata ini. Cinta sempurna hanya ada di dunia idea.

Agar lebih mudah mengerti tentang Cinta Platonis, berikut ilustrasinya, ketika anda tidak dapat bersama dengan orang yang anda cintai karena orang yang anda cintai telah memilih pasangannya, anda dapat terus mencintainya dan bahkan memilikinya dalam dunia idea anda. Karena konsep orang yang anda cintai tersebut telah melekat di dalam pikiran dan penalaran anda. Itulah yang disebut Cinta Platonis. Setiap manusia, pasti memilikinya.

Ya, memiliki Cinta Platonis.

Pernah punya Cinta Platonis? Atau masih menjalani Cinta Platonis? Kalau saya sih, masih aja loh menjalani Cinta Platonis. Mungkin bagi sebagian orang, Cinta Platonis itu omong kosong dan merupakan tindakan pengecut. Tapi menurut saya, Cinta Platonis itu memang selalu ada dan dialami oleh setiap manusia. Cinta itu tidak harus selalu dikatakan kok, kalo saya sih begitu. Kalau ada yang berpendapat cinta harus selalu dikatakan atau ditunjukkan ya silakan saja, toh setiap orang bebas mengeluarkan pendapat.

Kebetulan persoalan Cinta sedikit mengusik pikiran saya (bukan perasaan). Saya akan membahas apa yang mengusik pikiran saya di post selanjutnya.

28 May 2010

Patience

Sering dengar ucapan,"Sabar itu ada batasnya!" ?

Sewaktu nyetir di toll dari depok menuju kelapa gading, saya sempat memikirkan kalimat ini :

Sabar itu ada batasnya.

Sebenarnya siapa yang bilang sabar itu ada batasnya ya?
Siapa? Kita-kita yang manusia ini kan yang sering bilang begitu. Ketika kita sudah mencapai titik ketidaksabaran, kita sering mengucapkan hal tersebut. Kalau memang kita telah lama bersabar dan lelah bersabar, kenapa harus kalimat tersebut yang terlontar? Sabar itu ada batasnya. Batasnya dimana? Batasnya dibuat siapa? Batasnya kenapa terbatas? Sabarnya kenapa terbatas oleh batas?

Kalau kalimat tersebut terlontar, sama saja dong kita tidak bersabar?
Kalau sabar itu ada batasnya, jadi percuma dong kita bersabar?
Jadi sebenarnya sabar itu apa dan mengapa harus dilakukan?
Menurut saya, kalau kita memang mengerti dan melakukan apa itu yang namanya bersabar, maka tidak ada batasan dari sabar itu sendiri.

Masuk sebentar yuk ke ranah religi.
Pernahkah Tuhan di dalam setiap agama mengajarkan,"Umat-Ku, sabar itu ada batasnya."
Pernahkah? Saya sebagai penganut agama kristen, sampai saat ini tidak pernah mendapatkan firman seperti itu. Ketika saya bersabar, yasudah, saya akan terus bersabar, tanpa batas, tanpa saya tahu kenapa saya terus bersabar meski saya kadang sakit karena bersabar itu. Tapi saya paham, ketika saya terus bersabar, itu akan memperkecil resiko adanya masalah baru yang muncul. Bahkan kesabaran saya dapat berubah menjadi sikap apatis. *nahloh?*

Tapi sabar itu tidak mudah loh. Sabar itu mahal. Karena tidak semua orang bisa bersabar. Kecuali memang dilahirkan dengan kelebihan bersabar. :P
Hmm, jadi dengan kita bersabar, itu akan menaikkan harga diri kita juga. Hahahahaha.

Merasa sangat prihatin dengan teman-teman yang mengaku beriman dan beragama, tapi melontarkan kalimat tersebut (sabar itu ada batasnya).
Saya dapat melihat.
Bahwa, ke-iman-an dan kepercayaan kepada Tuhan tidak selalu bisa merubah sikap dan sifat manusia, kalau tidak manusianya sendiri yang ingin berubah.

Jadi,
Sabar itu tidak ada batasnya ya. :)
Patience, is expensive and unlimited.



23 May 2010

Netral

Tidak ada yang netral. Netral merupakan sikap pengecut, karena mengetahui yang salah atau yang benar, setidaknya menurut sudut pandangnya. Namun tidak berani ambil resiko untuk berpihak pada salah satunya. Jika ada yang netral, sama saja harus ambil sikap dengan keluar dari dua pilihan tersebut.

(dari catatan kuliah Filsafat Bahasa bersama mbak Ikhaputri, membahas tentang Luce Irigaray, 22 Maret 2010.)

Saya jadi berpikir mengenai kata 'netral' tersebut. Itu kan nama band. :P *bego*
Yak, bukan netral nama band maksud saya. Tapi netral yang selama ini saya anggap 'ketidak-berpihakkan'. Jadi selama ini (kalau ditinjau dari apa yang dibilang Luce Irigaray) netral itu sikap pengecut toh. Saya baru tahu, untung saya masuk kuliah waktu itu.

Pas diberikan kuliah soal Luce Irigaray, saya jadi banyak setujunya deh sama ini filsuf. Ingin mencari bukunya, tapi belum ketemu-ketemu (yah karena saya juga belum bener-bener nyari :P). Konsep netral Irigaray membuat saya terbuka. Apalagi pas kuliah mbak Upie juga memberikan contoh : bahwa sifat maskulin dan feminin itu adalah mutlak. Tidak bisa ada yang di tengah-tengah (netral). Wah, makin terpukaulah saya. Konsep 'netral' Irigaray jadi mulai mendekonstruksi (minjem istilah om Derrida) mind-set saya soal 'netral'.

Hmmm..

22 May 2010

Just my thought.

Semua yang ada itu kelihatan.
Tuhan itu tidak kelihatan.
Jadi, Tuhan itu tidak ada.


Silogisme di atas sahih dengan figur modus AEE (Pre-pre).


Logika.
Ilmu yang menantang kelurusan dan ketepatan nalar berpikir manusia. Logika sudah lama ada, Aristoteles dapat dikatakan 'founding father' ilmu ini. Sampai saat ini, logika masih dipelajari diberbagai institusi pendidikan. Baik secara khusus ataupun secara umum; secara tersirat ataupun tersurat. Kebetulan saya belajar secara khusus dan tersirat di jurusan saya. Karena berfilsafat juga membutuhkan ke-logis-an. :P

Sewaktu latihan mengerjakan soal. Saya sedikit terkejut melihat soal diatas. Dan tertawa bersama teman, bahkan sempat bersenda-gurau bahwa sang pembuat buku tidak percaya adanya Tuhan. Tapi tentu saja tidak serius, karena jelas itu hanya soal latihan untuk mata kuliah Logika. Tapi jujur, dalam pikiran dan lubuk hati, saya terus berpikir tentang silogisme tersebut. Iya, secara struktur memang sahih. Tapi jika di luar konteks struktur? Kalo yang belajar filsafat mungkin tidak terlalu masalah pas melihat susunan kalimat tersebut. Tapi yang tidak? Saya mulai berpikir. Tentang kaitan antara ke-logis-an suatu struktur logika dengan keadaan yang ada. Karena yang sering kita temui dalam kehidupan nyata kadang di luar logika.

Semua yang ada itu kelihatan.

Yang ada itu apa? Ada karena memang benar-benar ada, atau 'ada' yang lain? Dari struktur dalam premis mayor di atas, (tampaknya) ada yang dimaksud adalah ada yang memang ada. Dan di luar struktur logika, yang ada memang kelihatan bukan? Tapi bisa saja yang ada itu tidak terlihat. Tersembunyi misalnya. Tapi itu pasti bukan ada lagi kalo tersembunyi, itu berarti tidak ada.

Tuhan itu tidak kelihatan.

Benar bukan? Tuhan memang tidak terlihat. Dia yang besar dan dipuja umat beragama itu memang tidak pernah terlihat. Kalaupun dapat terlihat, tentu melalu mata hati dan iman percaya. :P

Jadi, Tuhan itu tidak ada.

Ini dia kesimpulan yang membuat saya berpikir. Jadi apa benar kesimpulan tersebut? Oke. Kalau yang taat dan kuat beragama pasti dengan yakin menjawab kesimpulan itu jelas salah. Saya juga sebagai orang beragama dan beriman, mengetahui bahwa kesimpulan tersebut memang kurang tepat. Tapi di situ point-nya. Di situ letak keunikan pola pikir manusia, menurut saya. Pola pikir saya dan anda, manusia. Saya tahu bahwa struktur premis mayor dan premis minor di atas benar, karena menghasilkan kesimpulan dalam struktur yang benar dan tepat secara logika. Pikiran berkata benar, tapi hati nurani merasa ada yang janggal. Sesuatu yang nampaknya mengganggu. Itukah iman?

Jika dipikirkan lagi, saya merasa itu hanya sesuatu yang terasa tidak cocok dengan apa yang selama ini saya tahu dan percaya. Selama saya beragama saya percaya bahwa Tuhan ada dan mendengarkan saya dan selalu melihat saya dari atas sana. Lalu saat mengerjakan soal logika tersebut, saya merasa ada yang janggal. Ya, janggal. Karena selama ini saya percaya Tuhan itu ada. Tapi lagi-lagi ada yang mengganggu pikiran saya. Kenapa saya bisa seyakin itu? Kenapa saya bisa percaya dan yakin bahwa memang apa yang selama ini saya percaya itu benar-benar ada. Bahwa Tuhan memang ada.

Apa yang membuat saya bisa merasa bahwa Tuhan membantu dan menyertai saya? Iman-kah? Lalu apa itu sebenarnya definisi dari kata iman? Apa yang membuat manusia dapat beriman? Mengapa manusia dapat mengatakan bahwa Tuhan menyertai, melindungi, menolong, dan memberkati dirinya? Bagaimana bisa? Bisa saja itu hanya thought dari manusia semata. Mengapa? Mengapa manusia, lebih tepatnya saya, mengapa saya dapat berpikir dan merasakan hal-hal demikian? Iman-kah? Jujur, saya bosan dengan jawaban iman. Saya butuh jawaban yang lain. Karena saya rasa kita perlu keluar dari pola pikir religius untuk menjawab segala keanehan dalam fakta yang ada.

Mutlak.
Ya, mutlak.
tuhan-iman-agama.
Itu jawaban mutlak.



Tulisan bersifat opini pribadi.
Contoh soal silogisme diambil dari : Hayon, Y.P.2000. Logika: Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur. Jakarta: ISTN.
Picture :
http://wisdomquarterly.blogspot.com/2009/10/does-god-exist.html

19 May 2010

Kita and Kami - Social Task

  • Baca konsep aku, kami, kita, dan the other dari buku Kita and Kami karangan Fuad Hassan.
  • Konsep “aku dan kamu” masuk ke dalam intersubjektivitas. Dan intersubjektivitas menurut beberapa filsuf.


Konsep aku, kami, kita, dan the other dari buku Kita and Kami karangan Fuad Hassan, mengulas mengenai konsep kebersamaan yang diulas dengan pandangan beberapa filsuf. Margaret Wood mengemukakan beberapa pertanyaan mengenai permasalahan ‘togetherness’ yaitu “Apa yang salah dengan kita?” dan “Apa yang salah dengan masyarakat kita?” dan pertanyaan yang seharusnya diletakkan dalam ranah universal,”Apa yang salah dengan manusia?” dan “Apa yang salah dengan manusia sebagai masyarakat?” pertanyaan tersebut jelas menggambarkan bahwa ada pembedaan dikotomis posisi individu dan kolektif.

Pembedaan dikotomis tersebut juga dapat kita lihat dari pemikir filsafat di era yunani kuno, Plato dan Aristoteles. Plato yang secara khusus mendesain negara ideal dimana individu dapat menemukan tempat yang tepat dalam struktur sosial, jelas mencerminkan pola dikotomis dalam hubungan individu dan masyarakat. Sedangkan Aristoteles, yang memiliki konsep bahwa manusia adalah zoon politicon menempatkan individu dalam lampiran sosial. Meski beberapa filsuf selanjutnya seperti Thomas Hobbes, atau Charles Darwin, dan filsuf kontemporer seperti Soren Kierkegaard, Nietzsche, atau Jean-Paul Sartre, individu dipahami sebagai suatu entitas untuk dimasukkan ke dalam posisi dikotomis yang berlawanan dengan masyarakat-nya.

Titik mula sebagai dasar dari ‘togetherness’ dapat dimulai dari pemikiran Martin Heidegger, dimana dunia manusia adalah dunia bersama, dan manusia tidak bisa dilepaskan dari kehidupan bersama dengan manusia lain.

Dari titik tolak tersebutlah, Fuad Hassan ingin meneliti bagaimana kebersamaan dengan manusia lain, mempengaruhi kehidupan individual. Dan secara lebih lanjut, Fuad Hassan ingin meneliti bagaimana kebersamaan manusia mempengaruhi identitas diri dan afirmasi diri seorang individu. Menurutnya, sebuah analisis terhadap Kita dan Kami sebagai dua modus dasar kebersamaan akan memberikan pemahaman bagaimana identitas diri seseorang dapat dipertahankan dan tidak hilang oleh kebersamaannya dengan orang lain.

Dalam modus Kita, kebersamaan dibentuk dalam atmosfer kebersamaan. Individu yang terlibat dalam kebersamaan tetap mampu mempertahankan subjektivitas masing-masing. Dalam modus Kita tidak ada pola hubungan objektivikasi resiprokal atau komunikasi intermanipulatif antar individu yang menjadi anggotanya. Pada modus Kita, individu tetap memperdulikan pengalaman yang memungkinkannya untuk membentuk diri yang otentik dalam interaksi bersama orang lain, serta membagi pengalaman subjektivitasnya bersama orang lain.

Sedangkan dalam modus Kami, dapat dikembangkan dalam kebersamaan dengan manusia lain. Namun, modus ini hanya dapat ditegakkan dengan mengeksklusifkan yang lain dari kebersamaan sebagai Dia atau Mereka. Dengan kata lain, modus Kami selalu dihadapkan dengan Mereka sebagai pihak lain di luar kebersamaan. Modus kami secara esensial selalu mensyaratkan adanya yang lain sebagai pihak ketiga yang dihadapi, bahkan sebagai musuh bersama. Dengan demikian, Kami hanya dapat tampil sebagai kebersamaan yang diobjektivikasi oleh pihak ketiga. Ini menyebabkan individu dalam modus kebersamaan Kami mengalami dirinya sebagai pihak yang diobjektivikasi dan tidak lagi mampu tampil dalam subjektivitasnya.

Konsep aku dan kamu merupakan bentuk modus Kita, dimana dalam modus Kita-lah, manusia tetap unik di tengah keberagamannya.

Dan intersubjektivitas menurut beberapa filsuf, antara lain :

· Martin Heidegger

Kebersamaan termanifestasi dengan sendirinya dalam keluarga, masyarakat, negara, persahabatan, pernikahan atau kondisi dimana individu menemukan seseorang yang tepat dan bertunangan dengannya. Semua itu menjadi pertanda, bahwa dunia manusia adalah mensharingkan dunia. Sejak dunia menjadi “Apa yang saya share/bagi kepada orang lain”, kondisi dasar dari individu adalah kemampuan untuk pengalaman yang akan menjadi kemungkinan untuk mencoba mengerti antar sesama manusia.

· F. Heinemann

Manusia tidak pernah sendiri atau tidak terelasi, dia selalu terkait dengan beberapa jenis hubungan dengan manusia lainnya. Manusia selalu berbagi dengan manusia lainnya (The Others). Manusia merupakan pusat dari ke-relasi-an. (center of relatedness)

· Karl Jaspers

Kebebasan tidak pernah nyata sebagai kebebasan individu sendirian. Setiap orang bebas untuk orang lain. Eksistensi manusia terefleksi dalam kemampuannya untuk merespon dialog demikian nanti akan menjadi tanggung jawab bagi dirinya sendiri.

· Nietzsche

“The You is older than the I” maksud dari kalimat tersebut adalah bahwa Saya tidak pernah menemukan dirinya sendiri sampai menemukan dirinya berkaitan dengan Anda dan dengan demikian menjadi kita.