21 December 2010

penolakan.

"I'm not good enough for you"
Irfan melontarkan kalimat tersebut pada kekasihnya. Sudah hampir satu tahun dia menjalin hubungan dengan Jennifer, namun karena merasa tidak lagi cocok ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Nah, tanpa sengaja saya kembali bertemu dengan Irfan. Dan dia pun kembali curcol sama saya soal hubungannya dengan si Jennifer.


Kenapa deh kalimat mutusinnya kaya gitu? Irfan bilang, dia nggak mau nyakitin perasaan Jennifer. Makanya dia berusaha memutuskan Jennifer dengan cara halus.

Hmm *angguk-angguk*
"Kenapa bell? Salah ya? Habis gimana dong? Gw ngomong gitu aja dia udah nangis-nangis ga mau diputusin."
Yah, bukan salah atau benar sih. Gw kepikiran konsep penolakan aja sih tiba-tiba. Kalau kita nolak sesuatu, orang yang kita tolak bakal ngerasa sedih atau senang? Terlebih dalam hubungan (cinta).


Misal, waktu itu si A suka banget sama si B. Tapi si B nggak ada rasa sama sekali untuk si A. Nah, pas si A nembak si B, si B menolak dengan halus permintaan si A untuk menjadikan dirinya sebagai kekasih. Menurut loe, meski si B menolak dengan halus 'tembakan' si A, apa si A nggak bakal sakit hati?

Sempat terpikir mengenai konsep penolakan. Bukankah kata penolakan atau tolak itu sendiri sudah memiliki muatan negatif ya? Jadi bagaimana bisa ada konsep penolakan secara halus? Mau halus atau keras, pastinya orang yang mengalami penolakan akan merasakan sakit hati bukan?

Sekarang loe mutusin si Jennifer dengan kalimat,"I'm not good enough for you". Kenapa loe bilang begitu ke dia setelah satu tahun pacaran? Loe baru sadar, kalo loe nggak cukup baik buat jadi pendamping dia?
"Hmm. Bisa dibilang begitu sih bell. Lagian, gw nggak mau nyakitin perasaan dia juga gitu."
Mau kata loe bilang ke dia kaya gitu. Di mata dia, loe terlihat cukup baik aja loh menurut gw. Kenapa? Soalnya loe pacarnya! Kalian terikat dalam satu relasi cinta dikarenakan kalian merasakan hal yang sama, yaitu, cinta. Saat dia menerima cinta loe, dan loe menerima cinta dia, maka dapat dikatakan kalian berdua menerima satu sama lain. Ketidakcocokan yang ada seharusnya tidak menjadi kendala, karena kalian telah satu sama lain menerima perasaan cinta kalian masing-masing.


Dia nangis kan waktu loe putusin kaya gitu? Yah, karena mungkin dia nggak mau kehilangan loe, dan mungkin juga dia merasa loe sudah cukup baik buat dia. Inget lagi konsep penolakan, mana ada sih nolak tapi nggak bikin sakit hati?
"Jadi mending gimana dong bell? Emang sih dia minta gw berpikir lagi sebelum ambil keputusan final soal hubungan kita."
Well, loe mutusin dia secara halus tanpa kasih alasan yang jelas kan buat dia? Daripada begitu, mending loe putusin dia dengan kasih juga alasan yang jelas, biar clear jadinya. Toh, sama-sama bakal ngerasa sakit hati juga kan dia?


Tapi bukan berarti cinta itu menyetujui konsep sado-masokis ya. Tapi memang cinta itu mengandung banyak ekspresi yang kadang sulit sendiri kita deskripsikan (menurut gw looh). Loe bilang diri loe nggak cukup baik fan buat si Jennifer, apa dia juga ngeliat itu demikian?
"Hmm, nggak tau juga sih bell. Tapi kalo liat dia nangis-nangis gitu pas gw putusin. Berarti gw emang sangat penting dong ya buat dia? Ah, tapi dia kan matre bell!"
Duh, Irfan, mending emang loe putus aja deh kalo menurut gw. Soalnya susah juga nih kalo loe sendiri udah nggak suka sama salah satu sifat dia. Cinta itu menerima apa adanya loh fan. Loe cinta dia karena memang 'cinta' atau karena apa sih emangnya? Sampe sifat matre dia itu bikin loe eneg banget kayanya. Emang sih bakal menguras dompet loe juga kalo begitu.


Gw jadi mempertanyakan konsep cinta bagi loe. Apakah keberadaan si Jennifer ini adalah alasan buat loe terus mengada dalam ruang dan waktu? Apakah dia pelengkap keberadaan loe di dunia ini? Jawabannya sih ada pada loe fan. Gw sendiri juga masih mencari-cari makna cinta buat diri gw. Dan memang lagi tertarik banget mengkaji cinta.
"Hoo begitu. So gimana nih bell? What should i do?"
Jujurlah. Mau apa lagi?

Loe sudah lama tidak jujur dengan perasaan loe ke dia. Loe nggak suka sifat matre dia, tapi loe diem aja. So, sekarang, kalau mau mutusin dia, yah berikan juga alasan yang jujur bukan gantung dan ga jelas.

Duh, fan. Sorry banget nih, gw kurang mempersiapkan diri dengan bahan-bahan mengenai cinta menurut pandanga filsuf-filsuf. Jadinya jawaban konsultasi gw agak dangkal. Hanya hasil berpikir gw doang waktu lagi dapet inspirasi di kamar mandi.
"Oh, nggak apa-apa bell. Gw malah dapet pencerahan juga kok diskusi sama loe."
Jadi loe mutusin si Jennifer?

"Ntar gw pikir-pikir lagi deh bell. Gw belum siap kalo harus jujur soal alasan mutusin dia."
Lah begimane deh?! Ntar dompet loe jebol loh!

"Gw belum siap bell, nyakitin perasaan dia.."
Errrr. Kalo kata Oscar Wilde nih, "The heart was made to be broken."

Jadi siap-nggak-siap, itu tergantung sama kita-nya, karena hati kita memang dibentuk untuk mengalami situasi apapun dan seperti apapun. #ngalorngidul

Udah dulu ya fan, gw lagi random banget nih.
Hati gw berasa habis kena bazooka.
Bolong, kosong, melompong.
Mau nge-galau dulu deh.
Gw doakan yang terbaik deh buat loe dan si Jennifer!

20 December 2010

cinta permukaan

"Aku rasa kita sudah nggak cocok lagi deh."
Kalimat di atas adalah kalimat yang dilontarkan Irfan kepada Jennifer setelah mereka berpacaran selama satu tahun. Sudah satu tahun berlalu, Irfan baru ngomong begitu sama si Jennifer. Lah emang kemana aja sampai baru bisa ngomong kaya gitu setelah satu tahun dalam masa pacaran berlalu? *lirik Irfan*
"Habis gimana dong?! Gw baru ngerasa kita nggak cocok satu sama lain! Dia nggak seperti yang gw harapkan pas masa pedekate dulu."
Begitu curcol Irfan pas ditanya kenapa baru mutusin pas udah jalan setahun. Hadeh, ini nih yang harus diwaspadai. Mencintai seseorang tidak berdasarkan pada kenyataan yang ada. Kenapa sih loe dulu jatuh cinta sama Jennifer?
"Di mata gue, Jennifer itu cantik banget. Dia pintar dan rajin belajar, baik dan perhatian, suka menolong teman-temannya. Perfect-lah pokoknya! Makanya gw jatuh cinta banget sama dia. Tapi, pas udah pacaran, duh, keluar deh aslinya. Doi matre banget meen!"
Ck, ck, ck. *geleng-geleng kepala*

Apakah alasan seperti itu juga terjadi kepada kita? Bukankah seharusnya dalam mencintai itu kita juga harus mencintai setiap kekurangan orang yang kita cintai? Kasus Irfan dan Jennifer adalah contoh bagaimana cinta pada permukaan seringkali berakhir pada perpisahan.

Disadari atau tidak, ketika kita jatuh cinta, sosok orang yang kita cintai akan terlihat sangat "WOW" di mata kita. Entahlah dalam bentuk apapun, meski dia lagi ngupil, mungkin akan terlihat "WOW". Tapi itu keterlaluan sih kayanya. -____-

Gw sempat berpikir, apakah konsep mencintai itu diawali atau bahkan berkaitan erat dengan konsep mengagumi. Dari hasil kontemplasi, terpikir bahwa konsep jatuh cinta yang memang erat kaitannya dengan rasa mengagumi. Menurut gw, ketika seseorang jatuh cinta, meskipun eksistensi dari orang yang kita cintai berada setara dengan kita. Tapi dalam konsep rasa, eksistensi orang tersebut berada setingkat atau bahkan lebih di atas kita. Orang yang kita cintai akan terlihat 'lebih' di mata kita.

Tanpa sadar saat kita jatuh cinta, kita menciptakan konsep ideal dari sosok orang yang kita cintai. Dikarenakan rasa suka yang kita miliki, maka setiap gerak-gerik ataupun perilaku orang yang kita suka/cintai akan coba kita perhatikan. Disadari atau tidak, ada dorongan dari dalam diri yang mendorong kita untuk mengetahui jauh lebih dalam tentang orang yang kita suka/cintai tersebut.

Dan apapun gerak-gerik orang yang kita suka itu kadang membuat kita dibutakan oleh apa yang kita lihat dan kita rasa. Jadi, bener dong cinta itu buta?
Eits, sebentar.
Siapa sih yang bilang cinta itu buta?
Menurut gw, Cinta itu abstrak. Dan kompleks malah kalo menurut gw.

Jadi, cinta itu bikin kita buta?
Alah. Dibutakan oleh cinta kali maksudnya?
Wah, kalo itu sih balik lagi ke masing-masing individu.
Yakin dibutakan oleh cinta?
Bukan diri kita sendiri yang justru membutakan diri sendiri hanya karena satu rasa yaitu, cinta?

Irfan, menurut gw, loe terperangkap dalam satu konsep tentang Jennifer yang loe ciptakan sendiri. Loe melihat dia dengan kacamata positif (bukan berarti loe silinder), maksud gw, loe melihat segala apapun tentang Jennifer sebagai sesuatu yang terlihat "WOW", semua terlihat sangat indah di mata loe. Sekalipun loe tau soal kekurangan dia yang pernah loe denger dari temen-temen loe ataupun loe lihat sendiri. Bener nggak? Kalo nggak, yaudahlah ya, dengerin aja apa kata gw.

Loe nembak si Jennifer karena rasa suka atau rasa jatuh cinta yang mendorong loe untuk memiliki dia dengan segala keindahan yang loe lihat. Loe nggak melihat kekurangan dia sebagai sesuatu yang negatif, loe (pinjem istilahnya Bung.Sartre) 'menidakan' segala kekurangan Jennifer yang loe lihat ataupun loe tahu. Sehingga, saat loe berada dalam satu relasi dengan Jennifer dan merasakan ada yang berbeda dari konsep Jennifer yang loe pernah buat, loe merasakan ketidakcocokan itu. *Irfan ngangguk-ngangguk*

Jangan ngangguk-ngangguk aja dong! Nangkep nggak maksud gw?
Inget nggak sama lagu Agnes Monica? Yang dia nyanyi," CINTA INI, KADANG-KADANG TAK ADA LOGIKA!" *dance ala Agnes*

Nah, itu pas tuh sama loe, fan! Loe nggak pake logika loe saat jatuh cinta. Perasaan loe mendominasi diri loe saat jatuh cinta, logika loe jadi nggak kepake karena loe lebih mentingin rasa! Sebenernya sih itu lagu agak gimana juga liriknya, cinta emang punya logika? Duh, keberadaan cinta bukannya abstrak ya?

See? Loe sendiri yang menciptakan perpisahan sejak awal. Loe mencintai seseorang berdasarkan konsep kesempurnaan yang loe buat tentang dia. Rasa, mendominasi diri loe, sampai loe lupa pake logika untuk menyadari kekurangan orang yang loe cintai.

Jauhi deh, konsep cinta permukaan, atau bisa dibilang cinta kulit. Bukan maksudnya loe cinta sama kulit buaya, kulit harimau. Bukan, tapi loe mencintai apa yang terlihat dengan kacamata yang lupa dipasangin gear logika.

Ngomong-ngomong, respon si Jennifer gimana tuh pas loe putusin?
"Dia nangis! Nggak mau putus. Aduh, gimana dong ya? Gw nggak tega juga nih, tapi dia juga hampir membuat aliran dana gw kembang-kempis! Gimana dong bell caranya mutusin dia?!!"
Hadeh. -_____-
Susah. Emang cinta suka bikin cenat-cenut.
Ntar disambung deh obrolan kita.

kajian yang harus dikaji

Cinta.
Apa ada yang salah jika kita mencoba mendalaminya?
Seakan cinta bukan sesuatu yang penting untuk dibahas.

Apakah manusia dapat hidup tanpa cinta?

Jika 'ya' jawabnya, maka jelas sudah cinta pantas sekali untuk dikaji.
Jika 'tidak', maka jelas kebencian pantas untuk dikaji.
Apa lawan cinta selalu benci? *hmm*
Itu nampaknya juga perlu dikaji.

Sempat ada yang menulis,


"The opposite of love is not hate, it's indifference."- Elie Wiesel


Jadi? :)
Renungkan kembali.

Apakah cinta harus selalu memiliki?
Apakah cinta Agape dan Eros harus selalu memiliki relasi?
Apakah cinta ideal itu ada?

Banyak sekali yang harus dikaji.
Sementara ini, ada baiknya saya melihat pandangan setiap orang yang berada di sekitar saya tentang apa itu cinta.

07 December 2010

Death may be the greatest of all human blessings. - Socrates
Kematian.
Siapa yang bisa menghindarinya?
Manusia tidak akan mungkin bisa menghindari kematian.
Kematian.
Bisa jadi sebuah tujuan akhir dalam kehidupan.
Misteri kehidupan tiada akhir terselesaikan dengan kematian.
Kebebasan.
Mungkin bisa tercapai dengan kematian.
Ya, kebebasan dari tekanan dan penderitaan hidup akan hilang, setelah datangnya kematian.
Kebebasan dari penderitaan.
Dibayar dengan kematian.
Saya masih berusaha belajar dan memahami bahwa memang pada akhirnya setiap manusia akan menghadapi kematian. Hanya waktu yang berbeda. Saya mencoba belajar, bahwa ini adalah bagian yang harus dihadapi karena memang semua akan terjadi, cepat atau lambat.
Teruntuk Mbak.Rum/Iyom/Rumsiah, tante saya yang saya kenal jauh sebelum menikah dengan om saya, selamat jalan. Istirahat dengan tenang. Saya ikhlaskan kepergian mbak, saya beryukur Tuhan angkat rasa sakit mbak. Semoga amal ibadah mbak semasa hidup diterima di sisi Allah SWT.

satu cinta, dua tuhan. mungkinkah?

Tak diterima dan tak berkenan di hadapan Tuhan.
Demikianlah opini yang sering terdengar yang tertuju pada pasangan yang berbeda agama.
Benarkah hubungan yang dilandasi oleh CINTA masih memiliki potensi untuk tidak diakui, diterima, dan diperkenankan di hadapan Tuhan?

Jika memang demikian, berarti ada batasan di dalam cinta.
Ada batasan yang menyekat individu dalam hal mencintai dan dicintai.
Batasan yang tak terlihat namun memiliki kekuatan yang besar, hingga mampu memisahkan dua orang yang saling mencintai. Apa batasan itu?

Mudah menyebutnya, namun apakah semua dapat menerima?
Bukankah agama yang menciptakan batasan dalam hal mencintai dan dicintai?
Jika tidak mencintai atau dicintai dengan orang yang memiliki kepercayaan dan iman yang sama dengan kita, maka hubungan tersebut jelas mustahil untuk dijalani.

Bukankah agama yang menciptakan berbagai norma khusus dalam lingkup iman kepercayaan yang harus dipegang teguh oleh orang-orang yang meyakininya?
Salahkah jika saya katakan agama yang membuat batasan dalam cinta?
Mencintai orang yang berbeda agama seakan menjadi hal yang tabu.
Mengapa?
Karena tidak dimungkinkan dalam satu hubungan adanya dua Tuhan bukan?

Mengapa tidak dimungkinkan?
Bagaimana jika dengan adanya dua Tuhan dalam satu hubungan dapat menciptakan toleransi dan keharmonisan yang lebih baik ketimbang satu Tuhan dalam hubungan?
Semua nampak masih buram dan abu-abu.
Biarlah perlahan saya warnai ketidakjelasan ini.

05 December 2010

Cinta Butuh Pengorbanan

Cinta memerlukan pengorbanan.
(Kata siapa? Kata saya tuh barusan)
Siapa sih yang ngga pernah ngerasain beratnya mengorbankan sesuatu?
Apalagi ini demi cinta. *huff*
Berat banget pastinya.

Tapi apa benar cinta selalu membutuhkan pengorbanan?
Yah, kalau mau dilihat secara jelas, tentu saja pacaran mengeluarkan materi kan?
Uang untuk traktir si pacar, uang untuk ongkos anter-jemput pacar, uang untuk ongkos ketemu pacar, uang buat beli pulsa untuk sms-an atau telpon-telponan sama pacar, dll.
Uang, uang, dan uang. Jelas kan kalau cinta memerlukan pengorbanan? (dalam hal ini uang) :p

Lalu apa pengorbanan dalam cinta hanya sebatas uang saja?
Oh, tentu tidak.
Masih banyak bentuk pengorbanan lain. Apa lagi?
Pengorbanan waktu?

Oh, iya ya. Pengorbanan waktu. Bisa aja akan waktu kita buat pacaran itu bisa kita pakai untuk ngerjain hal-hal lain, misalnya : ngerjain tugas, bantuin mama, nemenin papa, dll.
Atau mungkin kita mengorbankan waktu kita untuk bertemu pacar kita?
Mau dibolak-balik, sama saja kan? Kita rela mengorbankan waktu kita buat cinta.

Apa cuma segitu? Jangan lupa sama pengorbanan rasa!
Pengorbanan rasa? Hmm. Apaan tuh?
Siapa sih yang nggak pernah makan ati? Bukan Ati-Ampela yaa!
Tapi HATI! MAKAN HATI! *ih, hati kok dimakan*
Siapa sih yang nggak pernah makan yang satu ini?
Cuma karena hal sepele, kadang kita harus menelan rasa sakit hati yang disebabkan oleh kekasih hati. *sigh*
Meski ntar baikan lagi, tapi tetap saja kan terkadang kita harus mengorbankan perasaan kita buat orang yang kita cintai?

Pengorbanan rasa ini bisa dalam wujud apa pun.
Bisa juga loh, kamu yang sebenernya nggak suka pakai sepatu high-heels, tapi demi pacar kamu, kamu bela-belain pakai. (padahal kamu lebih nyaman sama sepatu kanvas!):

Jadi, cinta selalu membutuhkan pengorbanan dong ya?
Jika dilihat dari beberapa contoh di atas sih bisa dikatakan demikian.

Namun menurut Erich Fromm, seorang filsuf, kita harus mengerti konsep pengorbanan dalam cinta dengan baik dan benar. Jangan salah loh mengartikan 'cinta itu butuh pengorbanan', menurut Fromm, jangan sampai kata 'pengorbanan' justru menjadi kamuflase untuk kita menutupi penderitaan batin kita dalam hubungan kita dengan si kekasih. Bisa jadi karena kita meyakini bahwa cinta membutuhkan pengorbanan, maka penderitaan yang kita alami kita tanggung sendiri dengan dalih tersebut. Yang akhirnya bisa saja membuat kita tersiksa sendiri. Ntar Cinta Ini Membunuhku lagi.

Jadi jangan sampai menyalahartikan kata 'pengorbanan' dalam cinta ya.
Jangan sampai karena kata tersebut, kita malah menjadi individu yang bodoh.
Kalau ada yang bilang,"Cinta itu buta", kamu nggak akan dibuat buta asalkan kamu selalu buka mata dan pakai logika kamu dalam menjalin suatu hubungan.

Yah, memang lika-liku cinta tidak akan pernah habis dimakan waktu. *tsah*
Maksudnya tidak pernah ada waktu yang cukup untuk membahas soal cinta.
Ada saja yang bisa dibicarakan soal hal satu ini.
Untuk soal yang satu ini (pengorbanan) sampai sini dulu deh.
Ntar dibahas lagi kapan-kapan. Hihihihi.

Selamat membaca, silakan berkomentar.
Mari berdiskusi. :)

Referensi : Dewi, Saras. 2009. Cinta Bukan Cokelat. Kanisius: Yogyakarta

01 December 2010

PMPK assignment. *sigh

Why do You create us differently if You only want to be worshipped in one way?
“Cina and Annisa love God and God loves them both.

But Cina and Annisa cannot love each other because they call God by different name."

-Cin(T)a: God is a director. (2009)

Tahun 2009 perfilman indie Indonesia dikejutkan dengan hadirnya film independen yang mengangkat tema perbedaan agama dalam sebuah hubungan yang terjalin antara seorang pria dan perempuan yang memiliki perbedaan usia dan latar belakang sosial-budaya. Cina (18 tahun), keturunan cina-medan, adalah seorang mahasiswa baru jurusan arsitektur yang bertemu dengan Annisa (24 tahun), berasal dari etnis jawa, seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan arsitektur yang tugas akhirnya terhambat karena karirnya di dunia film. Cina dan Annisa bertemu secara tidak sengaja dan ketidaksengajaan tersebut membuat mereka menjalin hubungan pertemanan (yang lalu berkembang menjadi rasa cinta) meski akhirnya harus berpisah. Cina yang beragama Kristen, Annisa yang beragama Islam, saling mencintai satu sama lain, namun mereka harus berpisah hanya karena mereka mencintai Tuhan yang berbeda.

Film indie ini mendapat sambutan hangat dari pecinta film (indie) Indonesia. Para film-maker papan atas Indonesia pun memberikan apresiasi pada film ini. Tema yang diangkat memang terkesan klise, yaitu cinta, namun di sini diangkat pula isu perbedaan agama yang hadir dalam kisah cinta tersebut. Penulisan judul film yang unik, cin(T)a, memiliki daya tarik tersendiri. Huruf ‘T’ besar yang ada di dalam kurung merupakan Tuhan, tokoh sentral yang menentukan alur cerita film ini. Dialog cerdas mengenai argumen tentang Tuhan (yang dilontarkan oleh Cina dan Annisa) menjadi nilai plus tersendiri dalam film ini, bagaimana dua agama yang diwakili dua tokoh melihat problematika hidup, termasuk persoalan cinta. Film ini mungkin saja menjadi representasi dari fenomena cinta dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman budaya dan agama. Berdasarkan pengamatan penulis dari jejaring media sosial, banyak orang yang mengapresiasi film ini dikarenakan memiliki latar belakang kisah cinta yang sama dengan apa yang ada dalam film ini.

Jika dua orang yang saling mencintai tidak dapat bersatu hanya karena perbedaan agama, maka apa itu cinta? Pertanyaan mendasar ini mengusik benak penulis saat menonton film tersebut. Jika dua individu manusia yang saling mencintai tidak dapat bersatu apakah masih dapat dikatakan bahwa ada cinta diantara mereka? Dan bagaimana konsep cinta harus tetap dipercaya meski adanya pihak ketiga yang menjadi alasan ketidakbersatuan dua individu yang saling mencintai (dalam hal ini, pihak ketiga adalah Tuhan)?

Ada sudut pandang yang berbeda dari setiap individu dalam memahami arti kata dan konsep cinta, menurut Simone De Beauvoir, perbedaan situasi eksistensial antara perempuan dan laki-laki merupakan faktor bagaimana seorang perempuan dan laki-laki memahami konsep cinta di antara mereka. Dengan adanya perbedaan paham mengenai konsep cinta, apakah memungkinkan manusia bersatu dalam satu relasi atau ikatan cinta? Erich Fromm meyakini bahwa cinta merupakan hasrat yang paling memuaskan kebutuhan hasrat manusia yang tak terbendung. Dan menurutnya, cinta merupakan bentuk bersatunya individu dengan individu di luar dirinya.

Film cin(T)a merepresentasikan kisah cinta yang tidak dapat menemukan win-win-solution dalam pasangan berbeda agama. Larangan dan hal ke-tabu-an dari ajaran agama, seakan menjadi sebuah prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat dalam melihat pasangan berbeda agama. Tidak direstui, tidak diterima, tidak berkenan di hadapan Tuhan, demikianlah opini umum masyarakat pada pasangan yang berbeda agama. Mencintai Tuhan yang berbeda seakan menjadi penghalang bagi dua individu yang saling mencintai untuk bersatu. Pilihan eksistensial terlibat dalam hal ini, manakah yang harus dipilih untuk dicintai? Tuhan yang kita cintai atau individu lain yang kita cintai yang mencintai Tuhan yang berbeda dengan kita?