28 May 2010

Patience

Sering dengar ucapan,"Sabar itu ada batasnya!" ?

Sewaktu nyetir di toll dari depok menuju kelapa gading, saya sempat memikirkan kalimat ini :

Sabar itu ada batasnya.

Sebenarnya siapa yang bilang sabar itu ada batasnya ya?
Siapa? Kita-kita yang manusia ini kan yang sering bilang begitu. Ketika kita sudah mencapai titik ketidaksabaran, kita sering mengucapkan hal tersebut. Kalau memang kita telah lama bersabar dan lelah bersabar, kenapa harus kalimat tersebut yang terlontar? Sabar itu ada batasnya. Batasnya dimana? Batasnya dibuat siapa? Batasnya kenapa terbatas? Sabarnya kenapa terbatas oleh batas?

Kalau kalimat tersebut terlontar, sama saja dong kita tidak bersabar?
Kalau sabar itu ada batasnya, jadi percuma dong kita bersabar?
Jadi sebenarnya sabar itu apa dan mengapa harus dilakukan?
Menurut saya, kalau kita memang mengerti dan melakukan apa itu yang namanya bersabar, maka tidak ada batasan dari sabar itu sendiri.

Masuk sebentar yuk ke ranah religi.
Pernahkah Tuhan di dalam setiap agama mengajarkan,"Umat-Ku, sabar itu ada batasnya."
Pernahkah? Saya sebagai penganut agama kristen, sampai saat ini tidak pernah mendapatkan firman seperti itu. Ketika saya bersabar, yasudah, saya akan terus bersabar, tanpa batas, tanpa saya tahu kenapa saya terus bersabar meski saya kadang sakit karena bersabar itu. Tapi saya paham, ketika saya terus bersabar, itu akan memperkecil resiko adanya masalah baru yang muncul. Bahkan kesabaran saya dapat berubah menjadi sikap apatis. *nahloh?*

Tapi sabar itu tidak mudah loh. Sabar itu mahal. Karena tidak semua orang bisa bersabar. Kecuali memang dilahirkan dengan kelebihan bersabar. :P
Hmm, jadi dengan kita bersabar, itu akan menaikkan harga diri kita juga. Hahahahaha.

Merasa sangat prihatin dengan teman-teman yang mengaku beriman dan beragama, tapi melontarkan kalimat tersebut (sabar itu ada batasnya).
Saya dapat melihat.
Bahwa, ke-iman-an dan kepercayaan kepada Tuhan tidak selalu bisa merubah sikap dan sifat manusia, kalau tidak manusianya sendiri yang ingin berubah.

Jadi,
Sabar itu tidak ada batasnya ya. :)
Patience, is expensive and unlimited.



23 May 2010

Netral

Tidak ada yang netral. Netral merupakan sikap pengecut, karena mengetahui yang salah atau yang benar, setidaknya menurut sudut pandangnya. Namun tidak berani ambil resiko untuk berpihak pada salah satunya. Jika ada yang netral, sama saja harus ambil sikap dengan keluar dari dua pilihan tersebut.

(dari catatan kuliah Filsafat Bahasa bersama mbak Ikhaputri, membahas tentang Luce Irigaray, 22 Maret 2010.)

Saya jadi berpikir mengenai kata 'netral' tersebut. Itu kan nama band. :P *bego*
Yak, bukan netral nama band maksud saya. Tapi netral yang selama ini saya anggap 'ketidak-berpihakkan'. Jadi selama ini (kalau ditinjau dari apa yang dibilang Luce Irigaray) netral itu sikap pengecut toh. Saya baru tahu, untung saya masuk kuliah waktu itu.

Pas diberikan kuliah soal Luce Irigaray, saya jadi banyak setujunya deh sama ini filsuf. Ingin mencari bukunya, tapi belum ketemu-ketemu (yah karena saya juga belum bener-bener nyari :P). Konsep netral Irigaray membuat saya terbuka. Apalagi pas kuliah mbak Upie juga memberikan contoh : bahwa sifat maskulin dan feminin itu adalah mutlak. Tidak bisa ada yang di tengah-tengah (netral). Wah, makin terpukaulah saya. Konsep 'netral' Irigaray jadi mulai mendekonstruksi (minjem istilah om Derrida) mind-set saya soal 'netral'.

Hmmm..

22 May 2010

Just my thought.

Semua yang ada itu kelihatan.
Tuhan itu tidak kelihatan.
Jadi, Tuhan itu tidak ada.


Silogisme di atas sahih dengan figur modus AEE (Pre-pre).


Logika.
Ilmu yang menantang kelurusan dan ketepatan nalar berpikir manusia. Logika sudah lama ada, Aristoteles dapat dikatakan 'founding father' ilmu ini. Sampai saat ini, logika masih dipelajari diberbagai institusi pendidikan. Baik secara khusus ataupun secara umum; secara tersirat ataupun tersurat. Kebetulan saya belajar secara khusus dan tersirat di jurusan saya. Karena berfilsafat juga membutuhkan ke-logis-an. :P

Sewaktu latihan mengerjakan soal. Saya sedikit terkejut melihat soal diatas. Dan tertawa bersama teman, bahkan sempat bersenda-gurau bahwa sang pembuat buku tidak percaya adanya Tuhan. Tapi tentu saja tidak serius, karena jelas itu hanya soal latihan untuk mata kuliah Logika. Tapi jujur, dalam pikiran dan lubuk hati, saya terus berpikir tentang silogisme tersebut. Iya, secara struktur memang sahih. Tapi jika di luar konteks struktur? Kalo yang belajar filsafat mungkin tidak terlalu masalah pas melihat susunan kalimat tersebut. Tapi yang tidak? Saya mulai berpikir. Tentang kaitan antara ke-logis-an suatu struktur logika dengan keadaan yang ada. Karena yang sering kita temui dalam kehidupan nyata kadang di luar logika.

Semua yang ada itu kelihatan.

Yang ada itu apa? Ada karena memang benar-benar ada, atau 'ada' yang lain? Dari struktur dalam premis mayor di atas, (tampaknya) ada yang dimaksud adalah ada yang memang ada. Dan di luar struktur logika, yang ada memang kelihatan bukan? Tapi bisa saja yang ada itu tidak terlihat. Tersembunyi misalnya. Tapi itu pasti bukan ada lagi kalo tersembunyi, itu berarti tidak ada.

Tuhan itu tidak kelihatan.

Benar bukan? Tuhan memang tidak terlihat. Dia yang besar dan dipuja umat beragama itu memang tidak pernah terlihat. Kalaupun dapat terlihat, tentu melalu mata hati dan iman percaya. :P

Jadi, Tuhan itu tidak ada.

Ini dia kesimpulan yang membuat saya berpikir. Jadi apa benar kesimpulan tersebut? Oke. Kalau yang taat dan kuat beragama pasti dengan yakin menjawab kesimpulan itu jelas salah. Saya juga sebagai orang beragama dan beriman, mengetahui bahwa kesimpulan tersebut memang kurang tepat. Tapi di situ point-nya. Di situ letak keunikan pola pikir manusia, menurut saya. Pola pikir saya dan anda, manusia. Saya tahu bahwa struktur premis mayor dan premis minor di atas benar, karena menghasilkan kesimpulan dalam struktur yang benar dan tepat secara logika. Pikiran berkata benar, tapi hati nurani merasa ada yang janggal. Sesuatu yang nampaknya mengganggu. Itukah iman?

Jika dipikirkan lagi, saya merasa itu hanya sesuatu yang terasa tidak cocok dengan apa yang selama ini saya tahu dan percaya. Selama saya beragama saya percaya bahwa Tuhan ada dan mendengarkan saya dan selalu melihat saya dari atas sana. Lalu saat mengerjakan soal logika tersebut, saya merasa ada yang janggal. Ya, janggal. Karena selama ini saya percaya Tuhan itu ada. Tapi lagi-lagi ada yang mengganggu pikiran saya. Kenapa saya bisa seyakin itu? Kenapa saya bisa percaya dan yakin bahwa memang apa yang selama ini saya percaya itu benar-benar ada. Bahwa Tuhan memang ada.

Apa yang membuat saya bisa merasa bahwa Tuhan membantu dan menyertai saya? Iman-kah? Lalu apa itu sebenarnya definisi dari kata iman? Apa yang membuat manusia dapat beriman? Mengapa manusia dapat mengatakan bahwa Tuhan menyertai, melindungi, menolong, dan memberkati dirinya? Bagaimana bisa? Bisa saja itu hanya thought dari manusia semata. Mengapa? Mengapa manusia, lebih tepatnya saya, mengapa saya dapat berpikir dan merasakan hal-hal demikian? Iman-kah? Jujur, saya bosan dengan jawaban iman. Saya butuh jawaban yang lain. Karena saya rasa kita perlu keluar dari pola pikir religius untuk menjawab segala keanehan dalam fakta yang ada.

Mutlak.
Ya, mutlak.
tuhan-iman-agama.
Itu jawaban mutlak.



Tulisan bersifat opini pribadi.
Contoh soal silogisme diambil dari : Hayon, Y.P.2000. Logika: Prinsip-prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur. Jakarta: ISTN.
Picture :
http://wisdomquarterly.blogspot.com/2009/10/does-god-exist.html

19 May 2010

Kita and Kami - Social Task

  • Baca konsep aku, kami, kita, dan the other dari buku Kita and Kami karangan Fuad Hassan.
  • Konsep “aku dan kamu” masuk ke dalam intersubjektivitas. Dan intersubjektivitas menurut beberapa filsuf.


Konsep aku, kami, kita, dan the other dari buku Kita and Kami karangan Fuad Hassan, mengulas mengenai konsep kebersamaan yang diulas dengan pandangan beberapa filsuf. Margaret Wood mengemukakan beberapa pertanyaan mengenai permasalahan ‘togetherness’ yaitu “Apa yang salah dengan kita?” dan “Apa yang salah dengan masyarakat kita?” dan pertanyaan yang seharusnya diletakkan dalam ranah universal,”Apa yang salah dengan manusia?” dan “Apa yang salah dengan manusia sebagai masyarakat?” pertanyaan tersebut jelas menggambarkan bahwa ada pembedaan dikotomis posisi individu dan kolektif.

Pembedaan dikotomis tersebut juga dapat kita lihat dari pemikir filsafat di era yunani kuno, Plato dan Aristoteles. Plato yang secara khusus mendesain negara ideal dimana individu dapat menemukan tempat yang tepat dalam struktur sosial, jelas mencerminkan pola dikotomis dalam hubungan individu dan masyarakat. Sedangkan Aristoteles, yang memiliki konsep bahwa manusia adalah zoon politicon menempatkan individu dalam lampiran sosial. Meski beberapa filsuf selanjutnya seperti Thomas Hobbes, atau Charles Darwin, dan filsuf kontemporer seperti Soren Kierkegaard, Nietzsche, atau Jean-Paul Sartre, individu dipahami sebagai suatu entitas untuk dimasukkan ke dalam posisi dikotomis yang berlawanan dengan masyarakat-nya.

Titik mula sebagai dasar dari ‘togetherness’ dapat dimulai dari pemikiran Martin Heidegger, dimana dunia manusia adalah dunia bersama, dan manusia tidak bisa dilepaskan dari kehidupan bersama dengan manusia lain.

Dari titik tolak tersebutlah, Fuad Hassan ingin meneliti bagaimana kebersamaan dengan manusia lain, mempengaruhi kehidupan individual. Dan secara lebih lanjut, Fuad Hassan ingin meneliti bagaimana kebersamaan manusia mempengaruhi identitas diri dan afirmasi diri seorang individu. Menurutnya, sebuah analisis terhadap Kita dan Kami sebagai dua modus dasar kebersamaan akan memberikan pemahaman bagaimana identitas diri seseorang dapat dipertahankan dan tidak hilang oleh kebersamaannya dengan orang lain.

Dalam modus Kita, kebersamaan dibentuk dalam atmosfer kebersamaan. Individu yang terlibat dalam kebersamaan tetap mampu mempertahankan subjektivitas masing-masing. Dalam modus Kita tidak ada pola hubungan objektivikasi resiprokal atau komunikasi intermanipulatif antar individu yang menjadi anggotanya. Pada modus Kita, individu tetap memperdulikan pengalaman yang memungkinkannya untuk membentuk diri yang otentik dalam interaksi bersama orang lain, serta membagi pengalaman subjektivitasnya bersama orang lain.

Sedangkan dalam modus Kami, dapat dikembangkan dalam kebersamaan dengan manusia lain. Namun, modus ini hanya dapat ditegakkan dengan mengeksklusifkan yang lain dari kebersamaan sebagai Dia atau Mereka. Dengan kata lain, modus Kami selalu dihadapkan dengan Mereka sebagai pihak lain di luar kebersamaan. Modus kami secara esensial selalu mensyaratkan adanya yang lain sebagai pihak ketiga yang dihadapi, bahkan sebagai musuh bersama. Dengan demikian, Kami hanya dapat tampil sebagai kebersamaan yang diobjektivikasi oleh pihak ketiga. Ini menyebabkan individu dalam modus kebersamaan Kami mengalami dirinya sebagai pihak yang diobjektivikasi dan tidak lagi mampu tampil dalam subjektivitasnya.

Konsep aku dan kamu merupakan bentuk modus Kita, dimana dalam modus Kita-lah, manusia tetap unik di tengah keberagamannya.

Dan intersubjektivitas menurut beberapa filsuf, antara lain :

· Martin Heidegger

Kebersamaan termanifestasi dengan sendirinya dalam keluarga, masyarakat, negara, persahabatan, pernikahan atau kondisi dimana individu menemukan seseorang yang tepat dan bertunangan dengannya. Semua itu menjadi pertanda, bahwa dunia manusia adalah mensharingkan dunia. Sejak dunia menjadi “Apa yang saya share/bagi kepada orang lain”, kondisi dasar dari individu adalah kemampuan untuk pengalaman yang akan menjadi kemungkinan untuk mencoba mengerti antar sesama manusia.

· F. Heinemann

Manusia tidak pernah sendiri atau tidak terelasi, dia selalu terkait dengan beberapa jenis hubungan dengan manusia lainnya. Manusia selalu berbagi dengan manusia lainnya (The Others). Manusia merupakan pusat dari ke-relasi-an. (center of relatedness)

· Karl Jaspers

Kebebasan tidak pernah nyata sebagai kebebasan individu sendirian. Setiap orang bebas untuk orang lain. Eksistensi manusia terefleksi dalam kemampuannya untuk merespon dialog demikian nanti akan menjadi tanggung jawab bagi dirinya sendiri.

· Nietzsche

“The You is older than the I” maksud dari kalimat tersebut adalah bahwa Saya tidak pernah menemukan dirinya sendiri sampai menemukan dirinya berkaitan dengan Anda dan dengan demikian menjadi kita.

Social Task

1. Betulkah hak milik pribadi (ekonomi) sangat dipentingkan dalam pemikiran John Locke? Dan sejauh mana individu berperan untuk menentukan terbentuknya masyarakat (negara)?

Hak milik pribadi dalam pemikiran John Locke memang sangat dipentingkan. Bagi John Locke setiap manusia semestinya mempunyai hak milik pribadi (property atau nilai ekonomi) atas hasil yang dia peroleh dari pekerjaannya. Awalnya manusia hidup dengan hak alamiah (hak yang diperoleh langsung dari Tuhan dan tidak ada yang bisa mengambilnya, bahkan negara sekalipun) dan hukum yang berlaku hanyalah hukum alam. Seiring berjalannya waktu, manusia mulai mengerti konsep kerja yang dimulai dari pengelolaan lahan yang ada di sekitar tempat tinggalnya untuk bertahan hidup, dari konsep kerja berlanjut ke masa dimana manusia mulai mengenal uang sehingga akhirnya hak milik pribadi menjadi suatu ukuran pembeda bagi satu manusia dengan manusia lainnya (dalam kaitannya dengan hasil pekerjaan).

Karena besarnya jumlah hak milik pribadi yang dimiliki oleh masing-masing manusia, manusia memiliki rasa keterancaman dan ketakutan akan kehilangan hak milik pribadi tersebut. Manusia khawatir bahwa manusia lainnya akan mengambil hak milik pribadi-nya. Berangkat dari kecemasan inilah, manusia selaku individu memiliki peranan dalam pembentukan suatu masyarakat atau negara. Dimana manusia yang tinggal berkelompok tersebut akhinya menyerahkan sebagian hak-hak alamiahnya dan hak milik pribadinya kepada institusi yang disebut, Negara, untuk dilindungi melalui instrumen bernama hukum. Keterlibatan manusia sebagai individu dalam pembentukan negara terletak pada peran serta manusia yang memutuskan untuk membentuk sebuah negara, dimana pelaksana negara tersebut berasal dari beberapa individu dari kelompok manusia yang disebut masyarakat tersebut.

2. Apakah pemikiran Rousseau juga mementingkan hak individu dan apa perbedaannya dengan hak individu John Locke? (Hubungkan dengan teori pendapat umum/kehendak mayoritas)

Pemikiran Rousseau tidak mementingkan hak individu seperti halnya Locke. Rousseau tidak percaya akan adanya hak-hak kodrati, misalnya : hak milik pribadi, yang mendasarkan pembentukan suatu masyarakat atau negara. Namun konsep kontrak sosial Rousseau, tidak jauh berbeda dengan Locke dan Hobbes, hanya saja yang membedakan pemikiran Rousseau dan dua tokoh tersebut, terletak pada ‘apa yang membuat individu bersedia membentuk negara dan patuh diatur oleh negara. Menurut Rousseau, karena keadaan yang terus merosot (diakibatkan oleh faktor moralitas dari manusia itu sendiri) akhirnya sekelompok manusia tersebut menciptakan sebuah lembaga moral kolektif yang disebut “Negara”. Dalam lembaga tersebut, individu-individu harus tunduk pada “kehendak umum”. Kehendak umum / keinginan bersama menekankan pada persamaan, dan dianggap benar karena berasal dari semua untuk masing-masing. Sedangkan kehendak pribadi cenderung pada kepentingan yang sempit, sehingga tidak bisa digunakan untuk kepentingan bersama.

3. Carilah pemikiran yang menggabungkan antara individu sebagai individu yang baru bisa lengkap / sempurna apabila berada di tengah masyarakat!

Pemikiran tiga tokoh Eksistensialisme yaitu Karl Jaspers, Gabriel Marcell, dan Martin Buber dapat dikatakan mendekati teori diatas. Dimana Karl Jaspers mengatakan bahwa penerangan eksistensi tidak akan dapat tercapai apabila manusia tidak rela membuka dirinya untuk orang lain. Eksistensi baru dapat dicapai jika manusia memberanikan diri secara radikal dan tanpa syarat menyerahkan diri pada orang lain dalam hubungan yang disebut “komunikasi”.

Sedangkan menurut Gabriel Marcell, “Aku” tidak akan pernah bisa didefinisikan. “Aku” baru bisa “ada” jika ada “The Other”. Dari pemikiran Marcell, jelas bahwa eksistensi manusia tidak akan bisa “ada” atau lengkap tanpa hadinya sosok eksistensi lainnya atau “The Other”.

Sedangkan filsuf ketiga yang dapat mendekati pernyataan soal ketiga adalah Martin Buber, dengan konsep relasi-nya. Dimana manusia dalam kehidupannya selalu berkutat dengan konsep relasi. Salah satu konsep relasi yang diutarakan oleh Buber adalah relasi hidup dengan manusia, dimana dalam relasi tersebut manusia akan memiliki bahasa untuk memulai dialog dengan manusia lainnya.

Dari ketiga filsuf diatas, dapat ditarik benang merah pemikiran ketiganya, bahwa manusia akan selalu membutuhkan manusia lainnya untuk hidup. Dan jelas semua proses tersebut dapat terjadi dan ditemukan dalam lingkup masyarakat. Dengan menjalin relasi dengan manusia lainnya-lah, hidup manusia akan menjadi sempurna.