01 October 2011
Interpretasi Pesan Singkat
24 September 2011
hey september!
27 August 2011
si Eksis dan si Absurd
07 July 2011
racauan kacau
Perempuan jadi korban, masih perlu dipertanyakan?
28 May 2011
curcol singkat
09 April 2011
twitter creates new 'god' (?)
Twitter.The best way to discover what's new in your world.
Dunia Maya
Seseorang pernah berkata,"Aktualisasi diri sesungguhnya adalah di dunia sesungguhnya (juga), bukan di dunia maya."
Kajian (ala kadarnya) tentang Pendidikan dan Etika
“Education is a social process. Education is growth. Education is, not a preparation for life; education is life itself.”
- John Dewey
Pendidikan merupakan bagian dari diri manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Manusia yang terus menerus mengalami proses becoming memerlukan pendidikan dalam menjalani kehidupannya sebagai being yang memiliki kesadaran. Komponen-komponen seperti content of value, channel, direction, dan media merupakan komponen penting dalam kehidupan seorang individu manusia. Semua komponen tersebut dapat diperoleh manusia di dalam pendidikan. Baik melalui pendidikan secara formal, informal, dan juga non-formal. Unsur terpenting dari pendidikan itu sendiri adalah individu (being with consciousness) itu sendiri, yang menjalani kehidupannya.
Disadari atau tidak oleh seorang individu, pendidikan telah menjadi way of living bagi seluruh umat manusia dalam dunia ini. Pendidikan yang dimaksud dapat diperoleh melalui pendidikan secara formal, yaitu melalui institusi pendidikan, ataupun melalui kehidupan keseharian. Pendidikan, yang diperoleh individu melalui cara apapun, telah membantu manusia untuk menjalani kehidupan dengan lebih terencana. Karena seorang individu pastinya memiliki goal yang ingin dicapai di dalam kehidupan. Dan dapat dikatakan, pendidikan merupakan alat bantu bagi setiap individu untuk mencapai goal yang menjadi tujuan dalam hidup. Pendidikan sendiri berkaitan erat dengan konsep manusia yang terus-menerus berproses, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pendidikan juga terus berproses dan pendidikan juga membantu individu untuk berproses.
Lalu apa kaitan pendidikan dengan etika? Term ‘etika’ dalam pendidikan tidak dapat terlepas dari aspek axiologi dalam pendidikan. Aspek axiologi yang terdiri dari etika, estetika, dan logika merupakan faktor pendukung yang cukup besar dalam pendidikan. Keterkaitan antara satu term dengan term lainnya menunjang proses pendidikan. Jika ada salah satu aspek yang terlupakan maka tidak dapat dipungkiri proses pendidikan dalam kehidupan seorang individu kurang maksimal. Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan pandangan atau opini pribadi tentang pendidikan dalam kaitannya dengan etika.
Kaitan antara etika dan pendidikan
Apa itu etika? Etika merupakan salah satu cabang filsafat yang mendasarkan pemikiran kritis pada ajaran dan pandangan moral dalam kehidupan manusia.[1] Etika merupakan ilmu yang mempelajari pemahaman di balik tindakan moral yang dilakukan oleh manusia. Etika secara garis besar mengajarkan kepada individu tentang perbuatan atau tingkah laku etis manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lainnya di dalam suatu komunitas ataupun sebagai makhluk berakal budi yang memiliki tujuan dalam hidupnya. Hal tersebut dapat dimengerti dalam bagaimana seorang individu dapat berpikir dan mengetahui tentang mana hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk.
Lalu apa kaitan pendidikan dengan etika? Kaitan pendidikan dengan etika tidak terlepas dari kata moral (dalam hubungannya juga dengan term “baik” dan “buruk”) dalam individu manusia. Manusia sebagai makhluk sosial, memiliki nilai-nilai moral yang tertanam dalam diri sejak kecil, yang tentunya diperoleh dari proses interaksi dalam masyarakat lingkup yang terkecil, yaitu, keluarga. Nilai-nilai moral yang diperkenalkan orang tua kepada anaknya sejak kecil merupakan pendidikan awal tentang nilai-nilai moral yang diterima oleh seorang individu tanpa harus terlebih dahulu memasuki institusi pendidikan (dalam hal ini dapat berlaku prinsip Education = Life). Sebagai contoh, sejak kecil Metha diajarkan oleh orang tuanya untuk tidak mengambil apapun yang bukan miliknya, karena hal tersebut bukanlah hal yang baik, itu dinamakan mencuri.
Apakah selesai sampai di situ? Tentu saja tidak. Manusia yang telah diperkenalkan tentang nilai-nilai moral sederhana dalam institusi keluarga akan mengalami perkembangan mengenai etika di dalam institusi pendidikan secara formal. Dalam hal ini, peranan logika sangat berkaitan erat dengan peranan etika dalam kehidupan manusia. Institusi pendidikana kan memacu kognitif individu manusia untuk memiliki keteraturan berpikir dan mengenal beberapa prinsip-prinsip ilmu pengetahuan melalui pelajaran-pelajaran yang diberikan dengan kurikulum yang telah ditetapkan dan diterapkan. Kognitif berkaitan dengan pemikiran dan juga logika, maka seseorang yang kognitifnya terasah akan memiliki kemampuan berpikir yang berjalan sesuai dengan logikanya atau budinya. Dengan demikian, individu manusia yang terasah kemampuan kognitifnya akan memiliki pikiran yang berjalan dan memiliki kemampuan untuk berpikir tentang yang baik dan yang buruk dalam kesehariannya.
Dengan demikian dapat dilihat peranan pendidikan dalam kaitannya dengan etika. Pengasahan kemampuan kognitif, psikomotorik serta afektif dalam institusi pendidikan dapat membentuk individu yang menyadari nilai-nilai moral dalam kehidupannya, serta mengerti mana hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk. Pendidikan yang mengasah kemampuan kognitif individu manusia juga akan mengubah perbuatan/tingkah laku/perbuatan seorang individu manusia, Mengapa demikian? Kembali lagi karena telah memiliki kemampuan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.
Kesimpulan
Pendidikan merupakan suatu yang memang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia yang terus berproses. Melalui pendidikan, baik dalam arti luas ataupun arti sempit, seorang individu dibentuk dan terbentuk menjadi pribadi yang memilki kemampuan kognitif, psikomotorik serta afektif yang terasah. Dalam hal ini, kemampuan kognitif yang terasah yang dipadukan dengan kemampuan afektif serta relasi dengan individu maunsia lainnya dalam institisi pendidikan akan membuat seorang individu manusia mengetauhi tentang hal yang baik dan hal yang buruk. Tentu saja hal dua tersebut sangat memiliki pengaruh dalam kehidupan manusia, terkhusus dalam proses pencapaian tujuan hidup yang ingin dicapai. Maka dari itu, sangat penting bagi seorang individu untuk dapat memahami serta membedakan tentang hal yang baik dan buruk, dan mana diantara dua hal tersebut yang mendukung atau justru mengganggu proses pencapaian tujuan hidup yang ingin dicapainya.
[1] Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.
18 March 2011
Cinta Butuh Pengorbanan (tapi sampai mana?)
Sungguh suatu hal yang biasa didengar dalam keseharian kita bukan? Konsep “Cinta butuh pengorbanan” sungguh tidak asing bagi orang-orang yang berada didalam sebuah hubungan relasi cinta. Ketika kita bersatu di dalam hubungan yang dilandasi oleh cinta, maka kita terikat di dalam komitmen dan seringkali kita harus mengorbankan beberapa hal dari diri kita untuk cinta (red: pasangan).
Sejenak saya merenungkan konsep tersebut sebelum memulai aktivitas mandi di kamar mandi kamar kos saya. Kenapa ya, konsep “Cinta butuh pengorbanan” seakan menjadi sebuah hal yang lumrah dalam hubungan relasi cinta? Bahkan dapat dikatakan menjadi suatu tuntutan yang harus dipenuhi. Ups. Tuntutan? Kenapa tiba-tiba ada term ‘tuntutan’? Tanpa sadar, dengan landasan “Cinta butuh pengorbanan” kita berubah menjadi ‘penuntut’ yang harus dipenuhi keinginannya dengan alasan “Cinta butuh pengorbanan”. Iya atau tidak? Terserah anda.
Memang apa saja yang harus dikorbankan dalam cinta? Hmmm. Mengorbankan waktu, uang, perasaan, pemikiran, bensin, apa lagi? Banyak lagi pastinya yang mungkin bisa anda jawab sendiri. Kembali lagi ke perenungan singkat saya soal “Cinta butuh pengorbanan”, saya bertanya-tanya dengan pikiran saya, kenapa cinta membutuhkan pengorbanan? Dan yang paling membuat saya tak habis pikir lagi, sampai kapan cinta membutuhkan pengorbanan?
Gelas dan Air
Hmmm, kenapa tiba-tiba berpikiran sampai ke sana? Entahlah, muncul begitu saja dalam angan. Saya menganalogikannya dengan gelas kosong dan sebuah teko berisi air. Ketika kita haus kita pastinya akan minum, minum apa? Minum air. Dengan apa? Dengan gelas tentunya (kecuali anda memiliki kebiasaan minum langsung dari teko). Anda pastinya akan mengisi gelas itu sampai penuh atau sampai pada batasan anda merasa cukup isi gelas tersebut untuk anda minum. Lalu anda akan meminum air dari gelas tersebut untuk melepaskan rasa dahaga yang menyerang tenggorokan anda.
Nah, sekarang anda tentu menyadari, bahwa anda mengisi gelas kosong dengan air sampai batas gelas tersebut penuh, kecuali anda iseng ingin membuat becek sekitar maka anda mengisinya hingga luber. Kenapa anda berhenti menuangkan air ke dalam gelas ketika air dalam gelas tersebut penuh? Karena anda tahu, gelas tersebut tidak lagi bisa menampung air, karena jika anda terus menuangkan air, maka yang ada air tersebut akan tumpah karena gelas tidak mampu lagi menampungnya. Gelas tersebut telah mencapai tahap ‘kepenuhan’ atau ‘pemenuhan’ daya tampungnya atau dapat dikatakan kemampuannya untuk menampung air. Anda melihat jelas batas dimana gelas tersebut akan mencapi ‘kepenuhan’ akan daya tampungnya terhadap air.
Sekarang, mari kita analogikan gelas dan air itu dengan cinta dan pengorbanan. Nah! Menangkap maksud saya? Kita umpamakan gelas itu adalah cinta, dan air itu adalah pengorbanan. Seharusnya, jika dengan analogi gelas dan air sebelumnya, kita pasti akan berhenti ketika gelas itu hampir penuh dengan air atau bahkan sudah penuh dengan air. Namun bagaimana halnya dengan cinta?
Jika merujuk pada pengalaman cinta beberapa orang teman, nampaknya gelas cinta tersebut tidak akan pernah berhenti diisi oleh air pengorbanan. Dalam situasi normal, dapat dikatakan, akan mengalami proses luber! Karena nampaknya tidak ada batas dimana pengorbanan untuk cinta itu harus berhenti. Terus dan terus saja ada yang harus dikorbankan untuk cinta, terus dan terus air dituangkan ke dalam gelas sehingga luber dan menjadi becek dimana-mana.
B A T A S
Kenapa ada term ‘batas’ ya? Ya, jika mungkin bagi beberapa orang tidak ada permasalahan dengan batasan mencintai, ya silakan. Tidak ada yang melarang. Dan kenapa tiba-tiba ada term ‘batas’ dalam cinta? Ya, itu berangkat dari rasa ingin tahu dan penasaran saya. Kenapa pengorbanan untuk cinta tiada habisnya, memangnya manusia tidak memiliki keterbatasan untuk mengorbankan apapun dalam hidupnya (hanya) demi cinta? Manusia memiliki keterbatasan, namun hal tersebut nampaknya tidak menjadi penghalang untuk mengorbankan apapun demi cinta. Jadi pengorbanan dalam cinta memang tidak memiliki batasan dong? Saya juga masih harus berkontemplasi dan berdiskusi untuk mencari tahu jawaban dari pertanyaan tersebut.
Jika merujuk pada ketidaksempurnaan manusia, maka pastinya akan ada konsep keterbatasan. Untuk saat ini, bisa saja dikatakan bahwa batasan pengorbanan untuk cinta adalah keterbatasan dari manusia itu sendiri. Mungkin ada beberapa hal yang tidak dapat dikorbankan untuk cinta karena keterbatasan diri manusia itu sendiri. Namun nampaknya melihat konsep cinta di dunia saat ini, semua orang yang dimabuk cinta nampaknya akan mengorbankan nyawa sekalipun untuk cinta.
Akhir Kata Semua Kembali Kepada Kita
Jadi apa batasan bagi seseorang untuk berhenti mengisi gelas cinta dengan air pengorbanan? Nampaknya tidak ada batasan untuk hal tersebut, selain dari diri manusia itu sendiri. Yang memungkinkan saat ini untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah batasan yang diciptakan manusia itu sendiri. Kecukupan atau kepenuhan gelas cinta akan air pengorbanan tersebut hanya akan disadari oleh manusia itu sendiri. Manusia yang penuh dengan keterbatasan menciptakan sendiri batasan dalam hal cinta. Dan hal tersebut terkadang dapat menjadi sesuatu yang sulit atau terkadang mudah bagi setiap individu. Akhirnya segala sesuatunya akan kembali kepada individu masing-masing. Akhir kata semua kembali kepada, kita.
you turn me upside down
Pastinya anda tidak mengetahui perasaan saya.
Selamat.
Saya tahu anda tidak akan pernah menyadarinya.
Tetapi tidak apa.
Saya tidak peduli perasaan anda ke saya bagaimana, yang penting, dalam kesadaran saya, anda hadir sebagai subjek yang saya cintai.
-
13 March 2011
24 January 2011
Surat yang tak berharap untuk dibaca
Kepada Yang Terhormat,
Bapak Presiden yang saya kasihi.
Di Negara yang saya tinggali, di Istana manapun yang sedang anda tempati.
Shalom,
Apa kabar, pak? Perkenalkan saya adalah salah satu rakyat anda, nama saya Bella Marcellina, mahasiswa tingkat tiga di salah satu universitas negeri ternama. Saya bersyukur karena saya dan bapak berada di bawah langit yang sama dan berpijak di bumi yang sama. Saya bersyukur, dapat tinggal di sebuah Negara yang bapak pimpin. Memang status kita beda jauh, tapi jika dilihat dari tempat keberadaan dan keterlemparan kita di dunia ini, kita sama-sama manusia yang lahir dengan bahasa yang sama sebagai bahasa ibu.
Ada apa tiba-tiba saya menulis surat untuk bapak? Tidak ada apa-apa, pak. Saya hanya ingin mengisi waktu luang saya saja. Saya bingung mau nulis apa di blog saya, lalu saya keinget bapak yang sempat curhat soal gaji bapak yang tidak kurun naik, padahal harga cabe sudah naik-turun kaya lift di mall yang makin banyak saja di Jakarta. Bapak suka ke mall nggak? Apa nggak sempat karena banyak urusan Negara? Sehingga bapak lebih sering berkunjung untuk mengurus keperluan Negara ini? Saya bersyukur sekali, ada orang seperti bapak yang mau sibuk dan mendedikasikan waktu dan pikiran untuk memimpin Negara ini. Biarkan Tuhan membalas semua budi kebaikan dan jasa bapak pada Negara ini.
Saya sedikit terkejut mendengar berita tentang curhatan bapak soal gaji. Kenapa bapak tiba-tiba berpikiran untuk curhat seperti itu pak? Apa karena bapak sudah mulai merasa lelah menjadi presiden? Apa karena simpanan bapak untuk masa pensiun nanti kurang? Atau karena bapak iri dengan GT? Maaf, saya hanya berasumsi. Meski demikian, saya tetap ingin tahu motivasi apa yang membuat bapak curhat soal gaji bapak yang tidak kunjung naik. Bolehlah bapak cerita apa motivasinya, tidak perlu di media, tulis komen saja komen di bawah surat ini, pak.
Apakah bapak sadar? Bahwa kemiskinan masih menghantui sebagian besar rakyat Negara ini? Sementara bapak makan masakan enak yang disediakan juru masak istana, yang diliput di salah satu koran kota. Banyak orang miskin di penjuru Negara ini yang bahkan sulit untuk makan nasi, dan kadang tidak makan karena tidak ada yang bisa dimakan. Sementara bapak curhat soal gaji yang tidak naik, banyak orang yang bingung mau ngasih makan apa buat istri dan anak-anaknya. Sementara bapak cerita soal ancaman yang menghantui bapak, banyak orang miskin yang meninggal karena tidak mampu membayar uang berobat. Bapak tahu kalau di rumah sakit yang (katanya) disediakan pemerintah, pasien harus terlebih dahulu bayar uang muka sebelum memperoleh penanganan dari dokter? Bapak tahu kalau uang muka jauh lebih penting dari nyawa? Ada uang maka orang sakit selamat, nggak ada uang maka orang sakit dilawat.
Urusan Negara seperti apa sih yang dikerjakan? Saya tahu banyak sektor-sektor Negara yang perlu diurus. Tapi kok nampaknya setiap sektor tidak ada yang bermanfaat bagi rakyat. Rakyat ribut sendiri, bapak juga diem aja. Intoleransi meningkat pak di tahun 2010 kemarin, bapak kemana? Pelaku politik pada main kekuasaan, wakil rakyat tidak merepresentasikan suara rakyat. Wakil rakyat sibuk studi banding ke luar negeri, sementara tenaga kerja di luar negeri berjuang seorang diri. Wakil rakyat berebut dapat kursi kekuasaan, didukung rakyat biar jadi ‘merakyat’, sudah menang malah berkhianat. Parpol sibuk cari simpati, bilang cinta rakyat sampai mati, paling cuma untuk menangkan hati. Pejabat-pejabat dan konglomerat mempermainkan kekuasaan. Entah dimana letak integritas dan profesionalitas. Parpol rewel minta rombak ulang pemerintahan, palingan urusan kepentingan parpol sendiri. Oh maaf, saya lupa, bapak (juga) datangnya dari parpol.
Pak, kalau bapak bisa duduk manis menonton leg kedua laga final piala AFF kemarin dengan serius dan harapan akan kemenangan timnas kita. Saya juga berharap bapak serius memikirkan kami, rakyat Negara ini. Namun jangan hanya berharap, pak, tapi bapak bergerak secara signifikan untuk kami. Jangan hanya mengeluarkan instruksi di sana-sini terus diliput media tapi hasilnya nihil. Lama-lama bosan baca koran kolom dalam negeri, bukan dapat pengetahuan baru yang ada cuma dapat omong kosong dan kebohongan publik.
Apa mungkin moral orang kita sudah sangat bobrok pak? Jadi sulit sekali membuat pembenahan di sana-sini? Kalau kata iklan rokok: “Tanya kenapa?”
Mau nulis apalagi ya? Oh iya, mau cerita soal hukum di sini. Saya jadi ragu nih pak sama pemerintahan yang bapak pimpin. Kayanya asalkan orang pintar punya niat untuk mempermainkan hukum, maka Negara ini pun bisa diotak-atik. Hukum di sini benar-benar seperti lagu Nicky Astria ya pak, Panggung Sandiwara. Saya lagi nunggu klimaks sandiwara “Pajak”, menunggu satu tokoh utama yang belum muncul di panggung. Saya rasa GT bukan tokoh utama, dia hanya figuran. Atau mungkin dia hanya boneka panggung yang digerakkan oleh tokoh utama yang maunya jadi orang di balik layar.
Saya rasa cukup sekian surat saya untuk bapak. Maaf ya pak, membuang waktu bapak untuk membaca surat ini. Sebenarnya saya juga cuma basa-basi aja nulis kaya gini, kayanya nggak mungkin surat saya dibaca bapak. Saya berharap di tahun 2011 ini, pemerintahan mulai membaik kondisinya. Saya hanya bisa bantu doa, pak. Juga belajar untuk memelihara keprihatinan akan negeri ini sehingga jika saatnya tiba, saya boleh turun tangan membantu negeri ini. Semoga saja semua dilancarkan oleh Tuhan YME. Amin.
Semangat dan selamat memimpin negeri ini di tahun 2011, pak!
Pemimpin yang baik, dalam hal ini adalah pemimpin negara, pastinya akan mengutamakan dan mendahulukan kepentingan orang-orang yang dipimpin daripada kepentingan dirinya sendiri.
Namaste.
22 January 2011
intermezzo
20 January 2011
Salah (si)apa?
Halo. *lambaikan tangan*
Anda beragama?
Anda percaya pada Tuhan?
Membaca kembali catatan kuliah Eksistensialisme yang saya ikuti di semester tiga. Saat itu filsuf eksistensialisme yang dibahas adalah Martin Buber, seorang filsuf yang mengkritik ritual-ritual keagamaan yang bersifat fisik. Dan saya merenung saat membaca catatan yang saya tulis,
Relasi Eternal Thou adalah relasi yang berhubungan langsung dengan Tuhan. Tanpa berdoa, beribadah, tapi saat melihat kekerasan terjadi, langsung menolong yang tertndas/teraniaya tersebut. Karena menurut Buber, untuk apa seorang manusia terus menyebut kata ‘Tuhan’ tapi mengkhianati relasi dengan sesama manusia.
Untuk apa berdoa, tapi tidak perduli dengan nilai-nilai kemanusiaan?
Tuhan seperti apa yang anda percayai? Dan mengapa anda percaya pada Tuhan? Karena ajaran agama yang diturunkan oleh orang tua? Atau karena memang anda sejak lahir mengenal konsep Tuhan begitu saja? Hebat kalau sampai begitu. *tepuk tangan*
Ya, kita tahu bahwa agama menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dan Tuhan menjadi sosok fenomenal yang memiliki peranan tersendiri bagi setiap manusia di dunia ini. Pemeluk agama memiliki sosok Tuhan yang dipercayai dan diimaninya. Saya salah satunya, mungkin anda juga. Dan masih banyak orang di luar dunia maya ini yang meyakini Tuhan dalam kehidupan mereka.
Hanya saja saat ini saya sampai pada satu titik jenuh akan agama. Jenuh melihat aksi kekerasan di balik institusi agama. Jenuh melihat orang-orang (yang mengaku) beragama tetapi melakukan hal-hal yang imoral. Jenuh melihat kesombongan atas agama yang dianut.
Bingung dan tidak mengerti, Tuhan seperti apa yang dipercaya dan ajaran agama apa yang diterima. Saya tidak menyalahkan Tuhan-nya juga agama-nya. Karena memang Tuhan dan agamanya (nampaknya) tidak dapat dipersalahkan. Yang patut dipertanyakan adalah pola pikir dan sudut pandang orang-orang tersebut. Melakukan ritual keagamaan, namun menyakiti (baik secara verbal ataupun fisik) sesamanya manusia hanya karena perbedaan pandangan.
Tidak heran jika banyak orang yang memilih untuk tidak menjadi manusia dengan nilai-nilai religius dalam diri. Bahkan cenderung tidak peduli dengan Tuhan dan agama. Sempat terlintas, mungkin jika manusia tidak mengenal konsep Tuhan dan agama, tidak akan ada perbedaan dan keributan ataupun kekacauan di dunia. Tidak perlu ada perbedaan sudut pandang yang akhirnya saling menjatuhkan karena ingin mengklaim kebenaran absolut. Karena kalau dipikir lagi, apa sumber konflik? Perbedaan. (berbeda Tuhan, berbeda agama juga termasuk pemicu terjadinya konflik bukan?)
Ironis.
Perbedaan dapat menjadi pelengkap.
Namun di saat bersamaan juga bisa menjadi sumber konflik.
Dan siapa yang ada di belakang ini semua? Mungkin causa prima dibalik ini semua sedang tersenyum. Mungkin saat ini Tuhan saya, Tuhan anda, Tuhan agama lain sedang duduk bersama dan saling bercengkerama satu dengan yang lain. Mungkin mereka tertawa melihat manusia di dunia yang beragama saling berebut klaim kebenaran. Mungkin juga mereka saling mengasihani satu sama lain, mungkin mereka saling minta maaf atas kelakuan umat mereka.
Andaikan tidak ada agama.
Andaikan saya dan anda tidak mengenal Tuhan yang berbeda.
Andaikan tidak perlu ada beragam kitab suci.
Stop.
Semua tidak mungkin.
Karena agama ada, Tuhan (di berbagai agama) ada, dan kitab suci ada.
Dan (sayangnya) manusia yang menganggap diri dan agamanya paling benar juga ada.
Jadi,
Salah siapa?
Tuhan? Agama? Kitab suci? Atau ketiganya?
Bukan.
Bukan salah mereka.
Lalu?
Salah manusia yang menginterpretasikan mereka dengan pengertian yang salah dan jadinya menimbulkan masalah.
18 January 2011
Cinta Bukan Cokelat
"The heart was made to be broken." - Oscar Wilde