01 October 2011

Interpretasi Pesan Singkat

Hmmm. Pikiran saya terusik ketika seorang teman dekat mengirimkan pesan singkat kepada saya yang kurang lebih demikian: "Kalau mau tegur gw, jangan lewat sms ya langsung ketemu aja. Gw terlalu banyak interpretasi kalo baca sms." Saya tertegun untuk beberapa saat. Padahal pesan singkat yang saya kirimkan sebelum-sebelumnya untuk dia bukanlah pesan yang saya tuliskan dengan maksud menegur melainkan meluruskan permasalahan yang terjadi. Dan di hari yang sama, orang tua saya mempermasalahkan pesan singkat yang diterima dari supir dimana kedua orang tua saya memiliki interpretasi yang berbeda dari pesan singkat tersebut.

Ini bukan pertama kalinya pikiran saya terusik dengan urusan pesan singkat (SMS). Saya sempat menarik kesimpulan bahwa mood/kondisi hati seseorang mempengaruhi kemampuan interpretasinya saat membaca sebuah pesan singkat. Darimana saya mendapatkan kesimpulan tersebut? Hmmm, berdasarkan pengalaman saja. Saya pribadi seringkali dibuat cenat-cenut dengan persoalan interpretasi pesan singkat. Ketika saya merasa biasa saja saat menulis dan mengirimkannya, sang penerima tiba-tiba membalas pesan singkat dengan interpretasi yang beranggapan saya marah/kesal padanya. Ketika saya mencoba memberikan klarifikasi dan berhati-hati menuliskan pesan singkat, balasan diatas yang saya terima. Saya coba membaca berulang kali pesan singkat yang saya tuliskan. Saya membacanya dengan berbagai intonasi suara yang berbeda. Dan memang jika dibaca dengan pikiran/perasaan yang negatif yang tertangkap oleh pikiran adalah pesan yang negatif juga. Aha! Ini dia yang sering terjadi ketika seseorang menerima pesan singkat dan membacanya: membaca dengan 'suara'. Membaca dengan suara yang benar-benar suara (yang berintonasi) ataupun membaca dalam diam dengan membiarkan pikiran kita membacanya, seakan pikiran kita menyuarakan pesan singkat tersebut.

Sungguh fenomena ini membuat saya terheran-heran. Bagaimana bisa satu pesan singkat dapat memiliki kekuatan memainkan pikiran dan perasaan seseorang yang membacanya. Jika dipikir lebih lanjut, nampaknya bukan pesan singkat yang memiliki kekuatan tersebut, tapi kekuatan pikiran manusia. Proses interpretasi yang dialami dan dimiliki setiap orang pasti berbeda-beda. Pengalaman dan pengetahuan serta keterlibatan perasaan saya rasa menjadi komponen-komponen penting dalam proses interpretasi (dalam hal ini: membaca sms). Tak heran jika miskom/salah pengertian/salah paham sering terjadi hanya karena keunikan interpretasi dari setiap orang yang berbeda-beda.

Kembali pada topik membaca pesan singkat, saya teringat sebuah iklan handphone yang dapat membaca sms dengan suara. Hal yang unik. Jika semua orang memakai handphone tersebut, pastinya interpretasi akan setiap pesan singkat yang 'dibacakan' oleh handphone smart tersebut akan sama. Sama dalam artian tidak akan ada 'suara' yang berbeda ketika membaca pesan singkat. Mengapa? Karena mesin akan menyuarakan pesan singkat yang kita peroleh dengan suara yang tidak memiliki emosi/perasaan. Hmmm. Nampaknya dapat mereduksi kejadian miskom/salah pengertian/salah paham atau salah tafsir pesan singkat jika semua orang menggunakan handphone tersebut.

Saya termasuk tipikal orang yang sangat mudah terganggu dengan interpretasi pesan singkat yang saya terima dan saya baca. Tak jarang hal tersebut mempengaruhi emosi saya, entahlah saya merasa kesal/marah/senang/bingung/gelisah/dan sejuta perasaan lainnya. Emosi jelas memiliki pengaruh ketika menulis/membaca pesan singkat, namun hal tersebut nampaknya tidak selalu terjadi pada setiap orang dan setiap pesan yang ditulis dan dikirim. Sebagian orang bisa saja cuek bebek menanggapi pesan yang mungkin memiliki kandungan emosi di dalamnya. Sebagian lagi bisa saja gelisah ataupun senang menerima pesan yang memiliki kandungan emosi di dalamnya. Sebagian lagi bisa saja gelisah atau bingung ketika menerima jawaban yang terlalu singkat atau sebagian lagi merasa kesal ketika menerima pesan yang panjang lebar. Atau ada saja yang merasa sebal menerima pesan singkat dengan kombinasi huruf dan angka yang menyulitkan pembacanya menginterpretasikan pesan tersebut. Hahahaha. *no offense*

Interpretasi.. pesan singkat..
Emosi dan intonasi..
Hmmm..
Tak bisa dipungkiri, meski sekarang sudah serba canggih dengan adanya kemajuan teknologi..
Kesalahpahaman tetap dapat terjadi karena teknologi sering kali kalah dengan pikiran dan hati..

Seperti saya malam ini, saya sedang khawatir dan gelisah dengan jawaban singkat dari pesan singkat yang saya kirimkan. Lucu. Karena mungkin yang mengirimkannya merasa biasa saja dan berpikir saya terlalu berlebihan menanggapi balasan/responnya.


Halo Oktober,

semoga bulan ini menyenangkan.

September sudah cukup memberikan banyak ujian.

24 September 2011

hey september!

Halo,
mendekati akhir bulan September dan saya sama sekali tidak produktif di blog ini.
Badai di awal semester tujuh mulai dapat dikendalikan, sulit dan berat untuk diterima, tapi saya coba untuk jalani.
Saat ini yang ada di pikiran saya terus menerus hanya satu: perombakan topik skripsi.
Entah diubah atau dipertajam atau dibedah, pokoknya harus ada perubahan.
Sudah ada yang terlintas dalam pikiran. Topik utama tetap sama, tetapi permasalahan yang diangkat dan yang mau dibedah akan sangat kompleks. Jika dikaitkan dengan kasus yang mau diangkat pun nampaknya akan sulit..

27 August 2011

si Eksis dan si Absurd

Di bumi yang sama dalam dimensi ruang dan waktu yang sama, mereka bertemu. Waktu mempertemukan mereka, waktu yang menemani mereka, waktu juga yang membentuk hubungan mereka. Dari hanya mengenal nama, sampai jadi tahu sifat masing-masing. Dari sekedar saling melihat dari jauh, sampai jadi sering menatap satu sama lain sembari utarakan isi hati. Dari yang merasa asing satu dengan lainnya, hingga menjadi seorang teman. Dari kata,"Halo" menjadi beribu kata dalam tiap pertemuan.

Namakanlah mereka si absurd dan si eksis. Si eksis merasa senang bertemu si absurd, dia merasakan sesuatu yang tidak pernah dirasakan, dia merasa sepenuhnya 'ada' ketika bertemu dan mengenal lebih jauh si absurd.

"Si absurd aneh, sangat aneh, tak jarang aku dibuat pusing dengan pola pikirnya yang aneh. Dia sulit untuk dimengerti dan dipahami. Namun aku tidak ingin meninggalkan dia, aku jusru merasa keanehan dia melengkapi keberadaanku."

Si absurd merasa senang bertemu dengan si eksis, ada rasa yang sulit baginya untuk dideskripsikan, yang dia tahu, kehadiran si eksis dalam hari-harinya membuat dia tidak jenuh menjalani absurditas kehidupan.

"Si eksis itu sangat rumit. Selalu membicarakan mengenai eksistensi, selalu mempersoalkan eksistensi manusia. Padahal manusia selalu bergerak dalam lingkaran absurditas. Namun aku senang mendengar ocehannya yang rumit itu, dia mewarnai absurditasku.."

Waktu terus berjalan, si eksis dan si absurd saling melengkapi dalam menjalani perubahan dunia. Mereka berteman, mereka berbincang, mereka berdiskusi, mereka berpikir, mereka saling melengkapi namun menutupi rasa yang terletak dalam lubuk hati.

"Entahlah. Aku menyukainya. Aku ingin terus bersama-sama dengan dia, tapi nampaknya tidak mungkin. Waktu berbisik pelan padaku, memberikan kabar, bahwa di masa depan aku tidak akan bersama-sama dengannya. Ya, aku tidak mungkin bersama-sama dengan dia meski dia membuatku menjadi 'ada' seutuhnya."

Si absurd tidak pernah tahu, bahwa dirinya membuat si eksis bingung dan linglung. Si eksis mempertanyakan eksistensinya, ia sempat merasa sedih, kenapa aku merasa begitu bergantung pada kehadiran si absurd?

Si eksis bingung. Dia bahkan tidak percaya dengan rasa yang ada dalam hatinya. Mengapa sulit sekali menjauhkan si absurd dari pikiran?

Waktu berbisik, "Mungkin kamu mencintai dia!"

"AH! Apa itu cinta? Bagaimana rasanya cinta? Apakah harus selalu dirasa?", seruan pertanyaan si eksis diteriakannya pada bumi.

Si absurd menjawab,"Cinta itu absurd."

Si eksis bingung. Hmm. Kalau cinta itu absurd, berarti cinta itu dia? Ah. Pemikiran seperti apa itu. Si eksis berpikir lagi, lalu berseru pada si absurd,"Hey, kalau cinta itu absurd, apakah kamu pernah merasakannya?"

Si absurd terdiam. Lalu pergi berlalu. Meninggalkan si eksis.

Seketika si eksis mengerti, ia mencintai si absurd, namun ia tidak akan mungkin bisa bersamanya. Si eksis mengambil keputusan, "Biarlah aku cintai dirinya tanpa harus dibalasnya, bahkan tanpa harus diketahuinya. Kehadirannya sungguh membuatku sepenuhnya 'ada' meski aku tidak mungkin selalu bersamanya."

Waktu terus berjalan..
Mengubah hari, mengubah bulan, mengubah tahun, mengubah suasana, mengubah tempat, mengubah semuanya..
Waktu tetap setia menemani si eksis dan si absurd, menjadi saksi bisu bagi mereka.

"Ah, tak mungkin untuk ku ungkap rasa ini padanya. Namun, aku tak sanggup jika melihatnya bersama dengan orang yang dipilihnya nanti.. Ah, tak apa, toh kehadirannya membuatku 'ada' sepenuhnya, meski dia tidak mungkin kumiliki.."

Ah sudahlah. Kunikmati saja kebersamaanku dengannya, jika memang waktu menjemputnya untuk meninggalkan aku, aku.. aku.. aku tidak tahu..

Si eksis terus menyimpan rasa cintanya dalam lubuk hatinya yang terdalam. Membuat ruang khusus dalam lubuk hatinya yang tidak akan pernah dia buka untuk siapapun, ruangan yang tidak akan pernah diketahui oleh yang dimaksud, ruangan untuk si absurd. Si eksis berusaha untuk tidak mempermasalahkan perasaannya untuk si absurd.

Tanpa dia pernah tahu, bahwa ternyata, si absurd melakukan hal yang sama dengannya, membuat ruangan khusus untuknya, di dalam lubuk hatinya..

07 July 2011

racauan kacau

Tiba-tiba terlintas lagi konsep "cinta butuh pengorbanan" sudah dua kali sih menulis soal itu, Cinta Butuh Pengorbanan dan Cinta Butuh Pengorbanan (tapi sampai mana?). Tiba-tiba terlintas lagi soal itu, sebenarnya bukan soal itu lagi sih, tapi soal cinta. Saya jadi bingung. Memang kalau saling mencintai itu harus selalu bersama ya? Kalau cinta harus selalu bersama, berarti tidak ada dong konsep "cinta tidak harus memiliki"? Yah, kalau menurut Plato sih, tidak mungkin ada manusia yang tidak ingin bersama dengan orang yang dicintainya. Soal cinta menurut Plato nanti akan saya bahas lebih lanjut di post-post berikutnya deh, tidak sekarang. Hmmm. Saya jadi kepikiran, pintar teori soal cinta apa jaminannya dalam suatu hubungan cinta? Saya merasa belum pintar teori juga soal cinta, memang kaya apa juga teori soal cinta. Hmmm, palingan juga cuma baca-baca konsep cinta dari sudut pandang filsafat. Membantu sih. Jadi bisa lebih kritis melihat problematika cinta. Kalau soal ke depannya gimana pas sudah berelasi dalam suatu hubungan cinta, wah saya tidak tahu deh apakah pengetahuan itu berguna. Hahahaha. Tapi sejauh ini sih, mind-set sudah jauh lebih baik tentang cinta yang nanti mungkin akan saya alami. Entah kapan. Tapi sejauh ini, masih menikmati cinta platonis saja. :)

Perempuan jadi korban, masih perlu dipertanyakan?

Benar-benar tidak habis pikir. Kenapa ya perempuan itu kalau jadi korban malah mendapat diskriminasi? Seakan kalau ada kasus pelecehan yang menimpa perempuan, yang salah itu perempuannya, bukan pihak yang melakukan pelecehan. Ketika perempuan menjadi korban, yang muncul bukannya pembelaan sepenuhnya dari khalayak umum, tetapi justru pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dan menyalahkan. Seperti kasus yang menimpa vokalis perempuan sebuah band di negeri ini, dia diculik di pagi buta oleh tiga pria mabuk dan disekap di dalam mobil selama satu jam serta mengalami pelecehan seksual. Miris saya mendengar pemberitaan media tadi sore yang justru melontarkan pertanyaan yang menyudutkan si vokalis, seperti, "Apa yang dilakukan dia di pagi buta dan sendirian?" ; "Apakah dia berada dalam kondisi mabuk?" ; "Mengapa dia tidak membawa mobil atau memanggil taksi sendiri?. AYOLAH! Itu bukan pertanyaan berarti yang mendukung kondisi moril si korban!

28 May 2011

Kelas Filsafat Pendidikan hari Senin lalu membahas topik yang seru. Pendidikan Liberal! Masih sedikit yang nulis soal Pendidikan Liberal di dunia maya. Kebetulan, bukan karena kebetulan juga sih, karena giliran kelompok saya yang presentasi soal Pendidikan Liberal di hari Senin kemarin, kami jadi agak was-was karena kekurangan sumber. Buku-buku yang ada juga tidak mendukung. Jadinya pasrah dengan sumber seadanya, tapi siapa sangka, kelas jadi seru dan pikiran jadi terbuka soal sistem Pendidikan Liberal. Hmm. Seselesainya saya dengan minggu (t)u(g)as, saya akan post di blog ini tentang apa yang dibahas di kelas Filsafat Pendidikan minggu lalu. Janji.

curcol singkat

Topik miniskripsi saya soal cinta, ho oh cinta, silakan deh ketawa. Sudah banyak yang mentertawakan saya karena saya nulis soal cinta. Banyak juga yang geleng-geleng kepala ketika tahu saya nulis soal cinta pada pasangan yang berbeda keyakinan/agama. Kenapa saya nulis soal itu? Karena saya tertarik. Kenapa ya nggak ada kelas filsafat cinta? Kan bagus tuh kalau diadakan, biar ada kesan baru buat departemen filsafat, ga melulu berat topiknya, tapi juga bisa mellow. Eaaak. Bukan bisa mellow, tapi juga bisa membahas pandangan filosofis pada sesuatu yang dekat dengan keseharian manusia, cinta.

Isi miniskripsi saya apa sih? Tidak mau saya buka di sini sampai saya sendiri memutuskan untuk menuliskannya di sini. Senang sekaligus prihatin mengetahui berbagai respon dari topik miniskripsi saya. Well, subjektivitas itu memperkaya diri (saya). Yang pasti, karena topik ini dan respon yang saya peroleh, saya jadi semakin tahu dan yakin, bahwa iman memang sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat ketika seseorang memutuskan untuk ber-Tuhan. Namun di sisi lain, ketika saya memperoleh respon yang negatif, saya jadi berpikir, kemana rasio ketika iman menjadi landasan? Mengapa iman yang dijadikan landasan terkesan mengekang rasio?

Saya orang beriman, saya juga orang berasio, saya (selalu) berusaha (untuk) seimbang.

akhir may, awal juni

penulis lagi galau (t)u(g)as..

09 April 2011

twitter creates new 'god' (?)

Twitter.
The best way to discover what's new in your world.

Demikianlah tagline dari salah satu situs jejaring sosial terbesar di dunia (maya), Twitter. Dengan balutan warna biru di homepagenya dan maskot burung biru, twitter berhasil mencuri perhatian sebagian (besar) orang di dunia (maya). Cukup mengunjungi situs twitter.com, melakukan registrasi, memasukkan 'identitas' anda, lalu anda siap untuk berkicau di dunia twitter (twitterland). Pertanyaan,"What's happening?" dapat anda jawab di kolom dengan batasan 140 karakter, setiap orang (di twitter) dapat menjadi 'pembuat'-'pembawa'-'pembaca' berita(nya sendiri).

Hal yang mengusik saya tentang twitter ialah soal 'following' dan 'followers'. Tadi siang, seorang yang saya ikuti yang berprofesi sebagai dokter, dalam tweetnya mengatakan (kurang lebih demikian) follow yang disuka, unfollow yang tidak disuka, senang jika difollow, jangan marah jika diunfollow. Saya terusik karena di awal tweet beliau mengatakan, "Prinsip twitter.." Saya langsung bertanya, "Prinsip twitter darimana? Memang twitter secara resmi memiliki suatu prinsip atau aturan etis dalam twitter?" Lalu saya tertawa, penggunaan kata yang menurut saya kurang tepat, karena kalau soal follow-unfollow itu mungkin untuk sebagian orang bukan hal yang penting, namun bagi sebagian orang nampaknya sangat penting. Jadi tidak dapat dikatakan sebagai suatu prinsip juga. Tapi ya sudahlah, bukan itu yang ingin saya bicarakan.

Saya berpikir, bahwa twitter ternyata jika dipikirkan (secara liar) ternyata seperti sebuah agama. Ada 'pengikut' dan yang 'diikuti', tak bisa dipungkiri kan bahwa terkadang followers mempercayai apa yang disampaikan oleh orang yang di-follow-nya? Jadi setiap pengguna twitter adalah 'tuhan' bagi account twitternya masing-masing. Hahahaha. Hasil pemikiran liar yang sungguh membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Dengan account twitter yang dimiliki, setiap orang dapat menuliskan apapun pemikirannya dan bahkan bisa saja mempengaruhi orang lain (dalam hal ini followers-nya), namun memang tidak semuanya demikian. Kenapa saya katakan demikian? Karena tentunya tidak semua orang nge-tweet hal-hal yang bermanfaat dan memberikan informasi kepada followersnya. Karena twitter sendiri juga difungsikan sebagai tempat berkomunikasi oleh sebagian besar orang.

Saya pribadi, selalu merasa risih, sangat risih, jika ada yang meminta difollow atau difolbek (follow back). Saya merasa, "Loh kok loe ngatur gue?" hahaha, kan saya 'tuhan' dari account twitter saya sendiri, mau follow siapa, mau folbek siapa seharusnya tidak menjadi urusan orang lain. LOL.

Saya tidak bermaksud melakukan semacam pemojokan terhadap orang-orang yang demikian (minta difollow/difolbek), hanya memang karena saya tidak tahu motivasi dan tujuan apa dari orang-orang tersebut hingga meminta difolbek. Mungkin maksudnya nambah followers kali ya, biar banyak temen mention-mentionan. Mungkin sih, saya tak tahu, kasih tahu saya dongs! Seharusnya mereka menyadari bahwa mereka adalah 'tuhan' bagi account twitternya, yah nggak etis kan sesama 'tuhan' saling minta diikuti. Hehehehe. Seharusnya sih tergantung keinginan masing-masing aja.

Well, tulisan ini opini pribadi, kalau ada pendapat lain silakan komen(g), mari kita diskusikan.
Cheer, tweets!

Dunia Maya

Seseorang pernah berkata,"Aktualisasi diri sesungguhnya adalah di dunia sesungguhnya (juga), bukan di dunia maya."

Seketika saya merasa diri saya ini manusia masal, yang tidak dapat lepas dari eksistensi dunia maya. Tidak dapat dipungkiri, saat ini dunia maya menjadi dunia kedua bagi sebagian orang. Tempat eksistensi diri berada, bukan hanya di dunia nyata, melainkan juga di dunia maya. Sempat merenung, kenapa dulu saya terjerumus ke dalam berbagai situs jejaring sosial. Mulai dari fs, fb, plurk, berbagai macam blog, formspring, hingga twitter. Tanpa sadar saya membelah (eksistensi) diri saya dalam beberapa bagian di dunia maya.

Apakah suatu hal yang lumrah atau suatu hal yang salah jika saat ini eksistensi seseorang juga ditentukan melalui dunia maya? Hmm. Eksistensi di sini dapat memiliki beberapa pengertian, eksistensi sebagai suatu "proses berada", ataupun dalam pengertian "eksis" (terkenal?). Kembali kepada seseorang yang mengatakan bahwa (menurutnya) aktualisasi diri sesungguhnya adalah di dunia nyata, maka apa yang dilakukan (dan dicari) oleh orang-orang yang memutuskan untuk mengaktualisasikan dirinya juga di dalam dunia maya? Apakah trend menjadi suatu faktor pendorong terkuat yang menjadi jawaban dari pertanyaan tersebut?

Kemajuan teknologi membuat dunia maya menjadi dunia baru bagi manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Dapat(kah?) dikatakan menjadi trend masa kini untuk memiliki "identitas" maya di beberapa jejaring sosial. Berbagai media jejaring sosial menjadi sublimasi bagi sebagian orang untuk menuangkan apa yang dipikir hingga apa yang dirasa. Meski sering kali, sebagian orang tidak dapat menempatkan perkataannya sesuai dengan apa yang ditanyakan oleh 'si' jejaring sosial. Maksudnya? Ya, pastinya sudah sering terlihat di salah satu jejaring sosial yang bertanya: "What's on your mind?" - seringkali, sebagian orang, menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban "What I feel".

Dunia maya dengan segala kelebihan dan kekurangannya menjadi suatu fenomena masa kini. Tidak hanya hal-hal positif yang dapat diperoleh dari dan melalui dunia maya, hal-hal negatif pun tidak dapat dihindari, cyber crime salah satunya. Jika cyber crime merupakan salah satu hal negatif yang merugikan, apakah 'pemalsuan' identitas di jejaring sosial termasuk kejahatan?

Memang pada akhirnya semuanya (akan) selalu kembali pada masing-masing individu. Dunia maya, bagi sebagian orang, bisa menjadi 'dunia' tempat eksistensi dirinya berada dan hidup. Namun bagi sebagian orang, dunia maya bisa jadi hanya sebuah ilusi belaka. Terlepas dari pandangan-pandangan tersebut, ada baiknya "ikut-ikutan trend" tidak menjadi alasan dari setiap kegiatan aktifitas hidup kita. Termasuk ketika kita memutuskan "membelah" eksistensi diri untuk "hidup" dalam dunia maya.

Kajian (ala kadarnya) tentang Pendidikan dan Etika

“Education is a social process. Education is growth. Education is, not a preparation for life; education is life itself.”

- John Dewey

Pendidikan merupakan bagian dari diri manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Manusia yang terus menerus mengalami proses becoming memerlukan pendidikan dalam menjalani kehidupannya sebagai being yang memiliki kesadaran. Komponen-komponen seperti content of value, channel, direction, dan media merupakan komponen penting dalam kehidupan seorang individu manusia. Semua komponen tersebut dapat diperoleh manusia di dalam pendidikan. Baik melalui pendidikan secara formal, informal, dan juga non-formal. Unsur terpenting dari pendidikan itu sendiri adalah individu (being with consciousness) itu sendiri, yang menjalani kehidupannya.


Disadari atau tidak oleh seorang individu, pendidikan telah menjadi way of living bagi seluruh umat manusia dalam dunia ini. Pendidikan yang dimaksud dapat diperoleh melalui pendidikan secara formal, yaitu melalui institusi pendidikan, ataupun melalui kehidupan keseharian. Pendidikan, yang diperoleh individu melalui cara apapun, telah membantu manusia untuk menjalani kehidupan dengan lebih terencana. Karena seorang individu pastinya memiliki goal yang ingin dicapai di dalam kehidupan. Dan dapat dikatakan, pendidikan merupakan alat bantu bagi setiap individu untuk mencapai goal yang menjadi tujuan dalam hidup. Pendidikan sendiri berkaitan erat dengan konsep manusia yang terus-menerus berproses, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pendidikan juga terus berproses dan pendidikan juga membantu individu untuk berproses.


Lalu apa kaitan pendidikan dengan etika? Term ‘etika’ dalam pendidikan tidak dapat terlepas dari aspek axiologi dalam pendidikan. Aspek axiologi yang terdiri dari etika, estetika, dan logika merupakan faktor pendukung yang cukup besar dalam pendidikan. Keterkaitan antara satu term dengan term lainnya menunjang proses pendidikan. Jika ada salah satu aspek yang terlupakan maka tidak dapat dipungkiri proses pendidikan dalam kehidupan seorang individu kurang maksimal. Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan pandangan atau opini pribadi tentang pendidikan dalam kaitannya dengan etika.


Kaitan antara etika dan pendidikan


Apa itu etika? Etika merupakan salah satu cabang filsafat yang mendasarkan pemikiran kritis pada ajaran dan pandangan moral dalam kehidupan manusia.[1] Etika merupakan ilmu yang mempelajari pemahaman di balik tindakan moral yang dilakukan oleh manusia. Etika secara garis besar mengajarkan kepada individu tentang perbuatan atau tingkah laku etis manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lainnya di dalam suatu komunitas ataupun sebagai makhluk berakal budi yang memiliki tujuan dalam hidupnya. Hal tersebut dapat dimengerti dalam bagaimana seorang individu dapat berpikir dan mengetahui tentang mana hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk.


Lalu apa kaitan pendidikan dengan etika? Kaitan pendidikan dengan etika tidak terlepas dari kata moral (dalam hubungannya juga dengan term “baik” dan “buruk”) dalam individu manusia. Manusia sebagai makhluk sosial, memiliki nilai-nilai moral yang tertanam dalam diri sejak kecil, yang tentunya diperoleh dari proses interaksi dalam masyarakat lingkup yang terkecil, yaitu, keluarga. Nilai-nilai moral yang diperkenalkan orang tua kepada anaknya sejak kecil merupakan pendidikan awal tentang nilai-nilai moral yang diterima oleh seorang individu tanpa harus terlebih dahulu memasuki institusi pendidikan (dalam hal ini dapat berlaku prinsip Education = Life). Sebagai contoh, sejak kecil Metha diajarkan oleh orang tuanya untuk tidak mengambil apapun yang bukan miliknya, karena hal tersebut bukanlah hal yang baik, itu dinamakan mencuri.


Apakah selesai sampai di situ? Tentu saja tidak. Manusia yang telah diperkenalkan tentang nilai-nilai moral sederhana dalam institusi keluarga akan mengalami perkembangan mengenai etika di dalam institusi pendidikan secara formal. Dalam hal ini, peranan logika sangat berkaitan erat dengan peranan etika dalam kehidupan manusia. Institusi pendidikana kan memacu kognitif individu manusia untuk memiliki keteraturan berpikir dan mengenal beberapa prinsip-prinsip ilmu pengetahuan melalui pelajaran-pelajaran yang diberikan dengan kurikulum yang telah ditetapkan dan diterapkan. Kognitif berkaitan dengan pemikiran dan juga logika, maka seseorang yang kognitifnya terasah akan memiliki kemampuan berpikir yang berjalan sesuai dengan logikanya atau budinya. Dengan demikian, individu manusia yang terasah kemampuan kognitifnya akan memiliki pikiran yang berjalan dan memiliki kemampuan untuk berpikir tentang yang baik dan yang buruk dalam kesehariannya.


Dengan demikian dapat dilihat peranan pendidikan dalam kaitannya dengan etika. Pengasahan kemampuan kognitif, psikomotorik serta afektif dalam institusi pendidikan dapat membentuk individu yang menyadari nilai-nilai moral dalam kehidupannya, serta mengerti mana hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk. Pendidikan yang mengasah kemampuan kognitif individu manusia juga akan mengubah perbuatan/tingkah laku/perbuatan seorang individu manusia, Mengapa demikian? Kembali lagi karena telah memiliki kemampuan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.


Kesimpulan


Pendidikan merupakan suatu yang memang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia yang terus berproses. Melalui pendidikan, baik dalam arti luas ataupun arti sempit, seorang individu dibentuk dan terbentuk menjadi pribadi yang memilki kemampuan kognitif, psikomotorik serta afektif yang terasah. Dalam hal ini, kemampuan kognitif yang terasah yang dipadukan dengan kemampuan afektif serta relasi dengan individu maunsia lainnya dalam institisi pendidikan akan membuat seorang individu manusia mengetauhi tentang hal yang baik dan hal yang buruk. Tentu saja hal dua tersebut sangat memiliki pengaruh dalam kehidupan manusia, terkhusus dalam proses pencapaian tujuan hidup yang ingin dicapai. Maka dari itu, sangat penting bagi seorang individu untuk dapat memahami serta membedakan tentang hal yang baik dan buruk, dan mana diantara dua hal tersebut yang mendukung atau justru mengganggu proses pencapaian tujuan hidup yang ingin dicapainya.



[1] Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.


18 March 2011

Cinta Butuh Pengorbanan (tapi sampai mana?)

Sungguh suatu hal yang biasa didengar dalam keseharian kita bukan? Konsep “Cinta butuh pengorbanan” sungguh tidak asing bagi orang-orang yang berada didalam sebuah hubungan relasi cinta. Ketika kita bersatu di dalam hubungan yang dilandasi oleh cinta, maka kita terikat di dalam komitmen dan seringkali kita harus mengorbankan beberapa hal dari diri kita untuk cinta (red: pasangan).


Sejenak saya merenungkan konsep tersebut sebelum memulai aktivitas mandi di kamar mandi kamar kos saya. Kenapa ya, konsep “Cinta butuh pengorbanan” seakan menjadi sebuah hal yang lumrah dalam hubungan relasi cinta? Bahkan dapat dikatakan menjadi suatu tuntutan yang harus dipenuhi. Ups. Tuntutan? Kenapa tiba-tiba ada term ‘tuntutan’? Tanpa sadar, dengan landasan “Cinta butuh pengorbanan” kita berubah menjadi ‘penuntut’ yang harus dipenuhi keinginannya dengan alasan “Cinta butuh pengorbanan”. Iya atau tidak? Terserah anda.


Memang apa saja yang harus dikorbankan dalam cinta? Hmmm. Mengorbankan waktu, uang, perasaan, pemikiran, bensin, apa lagi? Banyak lagi pastinya yang mungkin bisa anda jawab sendiri. Kembali lagi ke perenungan singkat saya soal “Cinta butuh pengorbanan”, saya bertanya-tanya dengan pikiran saya, kenapa cinta membutuhkan pengorbanan? Dan yang paling membuat saya tak habis pikir lagi, sampai kapan cinta membutuhkan pengorbanan?


Gelas dan Air


Hmmm, kenapa tiba-tiba berpikiran sampai ke sana? Entahlah, muncul begitu saja dalam angan. Saya menganalogikannya dengan gelas kosong dan sebuah teko berisi air. Ketika kita haus kita pastinya akan minum, minum apa? Minum air. Dengan apa? Dengan gelas tentunya (kecuali anda memiliki kebiasaan minum langsung dari teko). Anda pastinya akan mengisi gelas itu sampai penuh atau sampai pada batasan anda merasa cukup isi gelas tersebut untuk anda minum. Lalu anda akan meminum air dari gelas tersebut untuk melepaskan rasa dahaga yang menyerang tenggorokan anda.


Nah, sekarang anda tentu menyadari, bahwa anda mengisi gelas kosong dengan air sampai batas gelas tersebut penuh, kecuali anda iseng ingin membuat becek sekitar maka anda mengisinya hingga luber. Kenapa anda berhenti menuangkan air ke dalam gelas ketika air dalam gelas tersebut penuh? Karena anda tahu, gelas tersebut tidak lagi bisa menampung air, karena jika anda terus menuangkan air, maka yang ada air tersebut akan tumpah karena gelas tidak mampu lagi menampungnya. Gelas tersebut telah mencapai tahap ‘kepenuhan’ atau ‘pemenuhan’ daya tampungnya atau dapat dikatakan kemampuannya untuk menampung air. Anda melihat jelas batas dimana gelas tersebut akan mencapi ‘kepenuhan’ akan daya tampungnya terhadap air.


Sekarang, mari kita analogikan gelas dan air itu dengan cinta dan pengorbanan. Nah! Menangkap maksud saya? Kita umpamakan gelas itu adalah cinta, dan air itu adalah pengorbanan. Seharusnya, jika dengan analogi gelas dan air sebelumnya, kita pasti akan berhenti ketika gelas itu hampir penuh dengan air atau bahkan sudah penuh dengan air. Namun bagaimana halnya dengan cinta?


Jika merujuk pada pengalaman cinta beberapa orang teman, nampaknya gelas cinta tersebut tidak akan pernah berhenti diisi oleh air pengorbanan. Dalam situasi normal, dapat dikatakan, akan mengalami proses luber! Karena nampaknya tidak ada batas dimana pengorbanan untuk cinta itu harus berhenti. Terus dan terus saja ada yang harus dikorbankan untuk cinta, terus dan terus air dituangkan ke dalam gelas sehingga luber dan menjadi becek dimana-mana.


B A T A S


Kenapa ada term ‘batas’ ya? Ya, jika mungkin bagi beberapa orang tidak ada permasalahan dengan batasan mencintai, ya silakan. Tidak ada yang melarang. Dan kenapa tiba-tiba ada term ‘batas’ dalam cinta? Ya, itu berangkat dari rasa ingin tahu dan penasaran saya. Kenapa pengorbanan untuk cinta tiada habisnya, memangnya manusia tidak memiliki keterbatasan untuk mengorbankan apapun dalam hidupnya (hanya) demi cinta? Manusia memiliki keterbatasan, namun hal tersebut nampaknya tidak menjadi penghalang untuk mengorbankan apapun demi cinta. Jadi pengorbanan dalam cinta memang tidak memiliki batasan dong? Saya juga masih harus berkontemplasi dan berdiskusi untuk mencari tahu jawaban dari pertanyaan tersebut.


Jika merujuk pada ketidaksempurnaan manusia, maka pastinya akan ada konsep keterbatasan. Untuk saat ini, bisa saja dikatakan bahwa batasan pengorbanan untuk cinta adalah keterbatasan dari manusia itu sendiri. Mungkin ada beberapa hal yang tidak dapat dikorbankan untuk cinta karena keterbatasan diri manusia itu sendiri. Namun nampaknya melihat konsep cinta di dunia saat ini, semua orang yang dimabuk cinta nampaknya akan mengorbankan nyawa sekalipun untuk cinta.


Akhir Kata Semua Kembali Kepada Kita


Jadi apa batasan bagi seseorang untuk berhenti mengisi gelas cinta dengan air pengorbanan? Nampaknya tidak ada batasan untuk hal tersebut, selain dari diri manusia itu sendiri. Yang memungkinkan saat ini untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah batasan yang diciptakan manusia itu sendiri. Kecukupan atau kepenuhan gelas cinta akan air pengorbanan tersebut hanya akan disadari oleh manusia itu sendiri. Manusia yang penuh dengan keterbatasan menciptakan sendiri batasan dalam hal cinta. Dan hal tersebut terkadang dapat menjadi sesuatu yang sulit atau terkadang mudah bagi setiap individu. Akhirnya segala sesuatunya akan kembali kepada individu masing-masing. Akhir kata semua kembali kepada, kita.



Di bawah langit yang sama
saya selalu berusaha mencari kesempatan untuk,

bertemu dengan anda.



you turn me upside down


Teruntuk anda,
yang hadir begitu saja dan berhasil memutar daya gravitasi dunia saya.

Tentunya anda tidak merasa melakukan apa-apa kepada saya.
Tentunya anda merasa dunia anda berjalan biasa saja.
Tentunya anda merasa tidak ada yang berubah.
Tentunya anda merasa semua baik-baik saja.

Pastinya anda tidak mengetahui perasaan saya.
Pastinya anda tidak mengetahui betapa anda telah menjungkirbalikkan dunia saya.
Pastinya anda tidak mengetahui bahwa anda selalu berada dalam pikiran saya.
Pastinya anda tidak akan pernah menyadarinya.

Selamat.
Anda berhasil, sungguh berhasil, mengambil alih fokus pikiran saya.
Anda selalu berhasil tampil dalam layar lamunan.
Anda sukses hadir dalam dunia saya dengan sempurna.
Anda, ya, anda.

Saya tahu anda tidak akan pernah menyadarinya.
Saya tahu anda tidak akan pernah mengetahuinya.
Saya tahu anda tidak akan pernah ada rasa untuk saya.
Saya tahu karena saya mencari tahu.

Tetapi tidak apa.
Sungguh tidak mengapa.
Saya sungguh tidak apa-apa.
Jika perasaan anda ke saya alpa.
-

Saya tidak peduli perasaan anda ke saya bagaimana, yang penting, dalam kesadaran saya, anda hadir sebagai subjek yang saya cintai.
(Terima kasih kepada bapak D.G.A, pengajar mata kuliah fenomenologi yang memberikan inspirasi akan konsep cinta seperti ini.)

-
“Urusan dia cinta balik ke kita atau nggak, itu urusan Descartes!”
– D.G.A

24 January 2011

Surat yang tak berharap untuk dibaca

Kepada Yang Terhormat,

Bapak Presiden yang saya kasihi.

Di Negara yang saya tinggali, di Istana manapun yang sedang anda tempati.

Shalom,

Apa kabar, pak? Perkenalkan saya adalah salah satu rakyat anda, nama saya Bella Marcellina, mahasiswa tingkat tiga di salah satu universitas negeri ternama. Saya bersyukur karena saya dan bapak berada di bawah langit yang sama dan berpijak di bumi yang sama. Saya bersyukur, dapat tinggal di sebuah Negara yang bapak pimpin. Memang status kita beda jauh, tapi jika dilihat dari tempat keberadaan dan keterlemparan kita di dunia ini, kita sama-sama manusia yang lahir dengan bahasa yang sama sebagai bahasa ibu.

Ada apa tiba-tiba saya menulis surat untuk bapak? Tidak ada apa-apa, pak. Saya hanya ingin mengisi waktu luang saya saja. Saya bingung mau nulis apa di blog saya, lalu saya keinget bapak yang sempat curhat soal gaji bapak yang tidak kurun naik, padahal harga cabe sudah naik-turun kaya lift di mall yang makin banyak saja di Jakarta. Bapak suka ke mall nggak? Apa nggak sempat karena banyak urusan Negara? Sehingga bapak lebih sering berkunjung untuk mengurus keperluan Negara ini? Saya bersyukur sekali, ada orang seperti bapak yang mau sibuk dan mendedikasikan waktu dan pikiran untuk memimpin Negara ini. Biarkan Tuhan membalas semua budi kebaikan dan jasa bapak pada Negara ini.

Saya sedikit terkejut mendengar berita tentang curhatan bapak soal gaji. Kenapa bapak tiba-tiba berpikiran untuk curhat seperti itu pak? Apa karena bapak sudah mulai merasa lelah menjadi presiden? Apa karena simpanan bapak untuk masa pensiun nanti kurang? Atau karena bapak iri dengan GT? Maaf, saya hanya berasumsi. Meski demikian, saya tetap ingin tahu motivasi apa yang membuat bapak curhat soal gaji bapak yang tidak kunjung naik. Bolehlah bapak cerita apa motivasinya, tidak perlu di media, tulis komen saja komen di bawah surat ini, pak.

Apakah bapak sadar? Bahwa kemiskinan masih menghantui sebagian besar rakyat Negara ini? Sementara bapak makan masakan enak yang disediakan juru masak istana, yang diliput di salah satu koran kota. Banyak orang miskin di penjuru Negara ini yang bahkan sulit untuk makan nasi, dan kadang tidak makan karena tidak ada yang bisa dimakan. Sementara bapak curhat soal gaji yang tidak naik, banyak orang yang bingung mau ngasih makan apa buat istri dan anak-anaknya. Sementara bapak cerita soal ancaman yang menghantui bapak, banyak orang miskin yang meninggal karena tidak mampu membayar uang berobat. Bapak tahu kalau di rumah sakit yang (katanya) disediakan pemerintah, pasien harus terlebih dahulu bayar uang muka sebelum memperoleh penanganan dari dokter? Bapak tahu kalau uang muka jauh lebih penting dari nyawa? Ada uang maka orang sakit selamat, nggak ada uang maka orang sakit dilawat.

Urusan Negara seperti apa sih yang dikerjakan? Saya tahu banyak sektor-sektor Negara yang perlu diurus. Tapi kok nampaknya setiap sektor tidak ada yang bermanfaat bagi rakyat. Rakyat ribut sendiri, bapak juga diem aja. Intoleransi meningkat pak di tahun 2010 kemarin, bapak kemana? Pelaku politik pada main kekuasaan, wakil rakyat tidak merepresentasikan suara rakyat. Wakil rakyat sibuk studi banding ke luar negeri, sementara tenaga kerja di luar negeri berjuang seorang diri. Wakil rakyat berebut dapat kursi kekuasaan, didukung rakyat biar jadi ‘merakyat’, sudah menang malah berkhianat. Parpol sibuk cari simpati, bilang cinta rakyat sampai mati, paling cuma untuk menangkan hati. Pejabat-pejabat dan konglomerat mempermainkan kekuasaan. Entah dimana letak integritas dan profesionalitas. Parpol rewel minta rombak ulang pemerintahan, palingan urusan kepentingan parpol sendiri. Oh maaf, saya lupa, bapak (juga) datangnya dari parpol.

Pak, kalau bapak bisa duduk manis menonton leg kedua laga final piala AFF kemarin dengan serius dan harapan akan kemenangan timnas kita. Saya juga berharap bapak serius memikirkan kami, rakyat Negara ini. Namun jangan hanya berharap, pak, tapi bapak bergerak secara signifikan untuk kami. Jangan hanya mengeluarkan instruksi di sana-sini terus diliput media tapi hasilnya nihil. Lama-lama bosan baca koran kolom dalam negeri, bukan dapat pengetahuan baru yang ada cuma dapat omong kosong dan kebohongan publik.

Apa mungkin moral orang kita sudah sangat bobrok pak? Jadi sulit sekali membuat pembenahan di sana-sini? Kalau kata iklan rokok: “Tanya kenapa?”

Mau nulis apalagi ya? Oh iya, mau cerita soal hukum di sini. Saya jadi ragu nih pak sama pemerintahan yang bapak pimpin. Kayanya asalkan orang pintar punya niat untuk mempermainkan hukum, maka Negara ini pun bisa diotak-atik. Hukum di sini benar-benar seperti lagu Nicky Astria ya pak, Panggung Sandiwara. Saya lagi nunggu klimaks sandiwara “Pajak”, menunggu satu tokoh utama yang belum muncul di panggung. Saya rasa GT bukan tokoh utama, dia hanya figuran. Atau mungkin dia hanya boneka panggung yang digerakkan oleh tokoh utama yang maunya jadi orang di balik layar.

Saya rasa cukup sekian surat saya untuk bapak. Maaf ya pak, membuang waktu bapak untuk membaca surat ini. Sebenarnya saya juga cuma basa-basi aja nulis kaya gini, kayanya nggak mungkin surat saya dibaca bapak. Saya berharap di tahun 2011 ini, pemerintahan mulai membaik kondisinya. Saya hanya bisa bantu doa, pak. Juga belajar untuk memelihara keprihatinan akan negeri ini sehingga jika saatnya tiba, saya boleh turun tangan membantu negeri ini. Semoga saja semua dilancarkan oleh Tuhan YME. Amin.

Semangat dan selamat memimpin negeri ini di tahun 2011, pak!

Pemimpin yang baik, dalam hal ini adalah pemimpin negara, pastinya akan mengutamakan dan mendahulukan kepentingan orang-orang yang dipimpin daripada kepentingan dirinya sendiri.

Namaste.

22 January 2011

intermezzo

Halo, para blog-walker!
Apa kabarnya?
Hmm, saya masih merasa kurang maksimal dalam mengelola blog ini. Entah karena macet inspirasi atau kurang sumber bacaan. Errrr.
Sebenarnya sih ingin ngepost beberapa review dari buku-buku, tapi ya ampun, malesnya amit-amit dah. :(
Semoga dapat inspirasi buat menulis sesuatu yang mengusik.

20 January 2011

Salah (si)apa?

Halo. *lambaikan tangan*

Anda beragama?

Anda percaya pada Tuhan?

Membaca kembali catatan kuliah Eksistensialisme yang saya ikuti di semester tiga. Saat itu filsuf eksistensialisme yang dibahas adalah Martin Buber, seorang filsuf yang mengkritik ritual-ritual keagamaan yang bersifat fisik. Dan saya merenung saat membaca catatan yang saya tulis,

Relasi Eternal Thou adalah relasi yang berhubungan langsung dengan Tuhan. Tanpa berdoa, beribadah, tapi saat melihat kekerasan terjadi, langsung menolong yang tertndas/teraniaya tersebut. Karena menurut Buber, untuk apa seorang manusia terus menyebut kata ‘Tuhan’ tapi mengkhianati relasi dengan sesama manusia.

Untuk apa berdoa, tapi tidak perduli dengan nilai-nilai kemanusiaan?

Tuhan seperti apa yang anda percayai? Dan mengapa anda percaya pada Tuhan? Karena ajaran agama yang diturunkan oleh orang tua? Atau karena memang anda sejak lahir mengenal konsep Tuhan begitu saja? Hebat kalau sampai begitu. *tepuk tangan*

Ya, kita tahu bahwa agama menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dan Tuhan menjadi sosok fenomenal yang memiliki peranan tersendiri bagi setiap manusia di dunia ini. Pemeluk agama memiliki sosok Tuhan yang dipercayai dan diimaninya. Saya salah satunya, mungkin anda juga. Dan masih banyak orang di luar dunia maya ini yang meyakini Tuhan dalam kehidupan mereka.

Hanya saja saat ini saya sampai pada satu titik jenuh akan agama. Jenuh melihat aksi kekerasan di balik institusi agama. Jenuh melihat orang-orang (yang mengaku) beragama tetapi melakukan hal-hal yang imoral. Jenuh melihat kesombongan atas agama yang dianut.

Bingung dan tidak mengerti, Tuhan seperti apa yang dipercaya dan ajaran agama apa yang diterima. Saya tidak menyalahkan Tuhan-nya juga agama-nya. Karena memang Tuhan dan agamanya (nampaknya) tidak dapat dipersalahkan. Yang patut dipertanyakan adalah pola pikir dan sudut pandang orang-orang tersebut. Melakukan ritual keagamaan, namun menyakiti (baik secara verbal ataupun fisik) sesamanya manusia hanya karena perbedaan pandangan.

Tidak heran jika banyak orang yang memilih untuk tidak menjadi manusia dengan nilai-nilai religius dalam diri. Bahkan cenderung tidak peduli dengan Tuhan dan agama. Sempat terlintas, mungkin jika manusia tidak mengenal konsep Tuhan dan agama, tidak akan ada perbedaan dan keributan ataupun kekacauan di dunia. Tidak perlu ada perbedaan sudut pandang yang akhirnya saling menjatuhkan karena ingin mengklaim kebenaran absolut. Karena kalau dipikir lagi, apa sumber konflik? Perbedaan. (berbeda Tuhan, berbeda agama juga termasuk pemicu terjadinya konflik bukan?)

Ironis.

Perbedaan dapat menjadi pelengkap.

Namun di saat bersamaan juga bisa menjadi sumber konflik.

Dan siapa yang ada di belakang ini semua? Mungkin causa prima dibalik ini semua sedang tersenyum. Mungkin saat ini Tuhan saya, Tuhan anda, Tuhan agama lain sedang duduk bersama dan saling bercengkerama satu dengan yang lain. Mungkin mereka tertawa melihat manusia di dunia yang beragama saling berebut klaim kebenaran. Mungkin juga mereka saling mengasihani satu sama lain, mungkin mereka saling minta maaf atas kelakuan umat mereka.

Andaikan tidak ada agama.

Andaikan saya dan anda tidak mengenal Tuhan yang berbeda.

Andaikan tidak perlu ada beragam kitab suci.

Stop.

Semua tidak mungkin.

Karena agama ada, Tuhan (di berbagai agama) ada, dan kitab suci ada.

Dan (sayangnya) manusia yang menganggap diri dan agamanya paling benar juga ada.

Jadi,

Salah siapa?

Tuhan? Agama? Kitab suci? Atau ketiganya?

Bukan.

Bukan salah mereka.

Lalu?

Salah manusia yang menginterpretasikan mereka dengan pengertian yang salah dan jadinya menimbulkan masalah.

18 January 2011

Cinta Bukan Cokelat

Cinta Bukan Cokelat.

Lalu?
Apa itu cinta?
Dan mengapa cinta dikaitkan dengan cokelat?


Dalam buku mungil berukuran 15x15cm, Saras Dewi, seorang dosen Filsafat Universitas Indonesia mencoba memberikan sebuah pengantar kepada setiap orang yang ingin mengenal cinta dari sudut pandang fillsafat. Buku dengan 125 halaman isi yang terbagi menjadi enam bagian ini mengupas pandangan tentang cinta melalui tokoh-tokoh filsafat, sudut pandang sains, memaparkan sisi lain dari Valentine, serta menyatakan cinta sebagai sesuatu yang universal di bab terakhir dari buku ini.

Ditulis oleh seorang dosen Filsafat dan mencoba melihat cinta dari filsafat tidak membuat buku mungil ini berat untuk dibaca. Sebaliknya, buku ini justru sangat ringan untuk dibaca, bahkan untuk orang-orang yang tidak mempelajari Filsafat secara khusus. Pemilihan kata dalam buku ini sangat sederhana dan mudah dimengerti. Tidak hanya itu, Yayas (panggilan akrab penulis) juga memberikan ilustrasi dalam bentuk cerita cinta yang biasa terjadi di setiap pembahasan yang diangkat.
"The heart was made to be broken." - Oscar Wilde
Tidak hanya pembahasan mengenai cinta yang dikupas dengan menarik, buku ini juga menyajikan quote-quote yang indah tentang cinta. Quote diatas dari Oscar Wilde adalah salah satunya.

Meski hanya 125 halaman, buku ini akan sangat memberikan pengetahuan baru bagi pembacanya. Secara singkat dan jelas, Saras Dewi mencoba membukakan konsep-konsep cinta yang seringkali disalahartikan oleh 'pemeluk'-nya. Seperti, konsep cinta yang membutuhkan pengorbanan yang malah kadang menyiksa diri sendiri, atau hubungan yang didasarkan atas cinta pada 'peran' yang dimiliki orang lain. Dan masih banyak konsep cinta lainnya yang coba dipaparkan oleh Saras Dewi dalam buku mungilnya dengan penyampaian yang sederhana dan menarik. Secara keseluruhan, 'isi' yang akan didapat dari buku ini lebih dari 125 halaman. :)

Buku terbitan Kanisius ini sangat layak dibaca untuk menambah pengetahuan dan juga untuk berkenalan dengan filsafat melalui cinta. Sangat pas dibaca untuk mengisi waktu kosong atau sebagai pengantar tidur. Dan pikiran anda tentang cinta pun akan makin terbuka setelah membaca buku mungil ini.

"Hiduplah untuk cinta." - Saras Dewi