09 April 2011

twitter creates new 'god' (?)

Twitter.
The best way to discover what's new in your world.

Demikianlah tagline dari salah satu situs jejaring sosial terbesar di dunia (maya), Twitter. Dengan balutan warna biru di homepagenya dan maskot burung biru, twitter berhasil mencuri perhatian sebagian (besar) orang di dunia (maya). Cukup mengunjungi situs twitter.com, melakukan registrasi, memasukkan 'identitas' anda, lalu anda siap untuk berkicau di dunia twitter (twitterland). Pertanyaan,"What's happening?" dapat anda jawab di kolom dengan batasan 140 karakter, setiap orang (di twitter) dapat menjadi 'pembuat'-'pembawa'-'pembaca' berita(nya sendiri).

Hal yang mengusik saya tentang twitter ialah soal 'following' dan 'followers'. Tadi siang, seorang yang saya ikuti yang berprofesi sebagai dokter, dalam tweetnya mengatakan (kurang lebih demikian) follow yang disuka, unfollow yang tidak disuka, senang jika difollow, jangan marah jika diunfollow. Saya terusik karena di awal tweet beliau mengatakan, "Prinsip twitter.." Saya langsung bertanya, "Prinsip twitter darimana? Memang twitter secara resmi memiliki suatu prinsip atau aturan etis dalam twitter?" Lalu saya tertawa, penggunaan kata yang menurut saya kurang tepat, karena kalau soal follow-unfollow itu mungkin untuk sebagian orang bukan hal yang penting, namun bagi sebagian orang nampaknya sangat penting. Jadi tidak dapat dikatakan sebagai suatu prinsip juga. Tapi ya sudahlah, bukan itu yang ingin saya bicarakan.

Saya berpikir, bahwa twitter ternyata jika dipikirkan (secara liar) ternyata seperti sebuah agama. Ada 'pengikut' dan yang 'diikuti', tak bisa dipungkiri kan bahwa terkadang followers mempercayai apa yang disampaikan oleh orang yang di-follow-nya? Jadi setiap pengguna twitter adalah 'tuhan' bagi account twitternya masing-masing. Hahahaha. Hasil pemikiran liar yang sungguh membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Dengan account twitter yang dimiliki, setiap orang dapat menuliskan apapun pemikirannya dan bahkan bisa saja mempengaruhi orang lain (dalam hal ini followers-nya), namun memang tidak semuanya demikian. Kenapa saya katakan demikian? Karena tentunya tidak semua orang nge-tweet hal-hal yang bermanfaat dan memberikan informasi kepada followersnya. Karena twitter sendiri juga difungsikan sebagai tempat berkomunikasi oleh sebagian besar orang.

Saya pribadi, selalu merasa risih, sangat risih, jika ada yang meminta difollow atau difolbek (follow back). Saya merasa, "Loh kok loe ngatur gue?" hahaha, kan saya 'tuhan' dari account twitter saya sendiri, mau follow siapa, mau folbek siapa seharusnya tidak menjadi urusan orang lain. LOL.

Saya tidak bermaksud melakukan semacam pemojokan terhadap orang-orang yang demikian (minta difollow/difolbek), hanya memang karena saya tidak tahu motivasi dan tujuan apa dari orang-orang tersebut hingga meminta difolbek. Mungkin maksudnya nambah followers kali ya, biar banyak temen mention-mentionan. Mungkin sih, saya tak tahu, kasih tahu saya dongs! Seharusnya mereka menyadari bahwa mereka adalah 'tuhan' bagi account twitternya, yah nggak etis kan sesama 'tuhan' saling minta diikuti. Hehehehe. Seharusnya sih tergantung keinginan masing-masing aja.

Well, tulisan ini opini pribadi, kalau ada pendapat lain silakan komen(g), mari kita diskusikan.
Cheer, tweets!

Dunia Maya

Seseorang pernah berkata,"Aktualisasi diri sesungguhnya adalah di dunia sesungguhnya (juga), bukan di dunia maya."

Seketika saya merasa diri saya ini manusia masal, yang tidak dapat lepas dari eksistensi dunia maya. Tidak dapat dipungkiri, saat ini dunia maya menjadi dunia kedua bagi sebagian orang. Tempat eksistensi diri berada, bukan hanya di dunia nyata, melainkan juga di dunia maya. Sempat merenung, kenapa dulu saya terjerumus ke dalam berbagai situs jejaring sosial. Mulai dari fs, fb, plurk, berbagai macam blog, formspring, hingga twitter. Tanpa sadar saya membelah (eksistensi) diri saya dalam beberapa bagian di dunia maya.

Apakah suatu hal yang lumrah atau suatu hal yang salah jika saat ini eksistensi seseorang juga ditentukan melalui dunia maya? Hmm. Eksistensi di sini dapat memiliki beberapa pengertian, eksistensi sebagai suatu "proses berada", ataupun dalam pengertian "eksis" (terkenal?). Kembali kepada seseorang yang mengatakan bahwa (menurutnya) aktualisasi diri sesungguhnya adalah di dunia nyata, maka apa yang dilakukan (dan dicari) oleh orang-orang yang memutuskan untuk mengaktualisasikan dirinya juga di dalam dunia maya? Apakah trend menjadi suatu faktor pendorong terkuat yang menjadi jawaban dari pertanyaan tersebut?

Kemajuan teknologi membuat dunia maya menjadi dunia baru bagi manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Dapat(kah?) dikatakan menjadi trend masa kini untuk memiliki "identitas" maya di beberapa jejaring sosial. Berbagai media jejaring sosial menjadi sublimasi bagi sebagian orang untuk menuangkan apa yang dipikir hingga apa yang dirasa. Meski sering kali, sebagian orang tidak dapat menempatkan perkataannya sesuai dengan apa yang ditanyakan oleh 'si' jejaring sosial. Maksudnya? Ya, pastinya sudah sering terlihat di salah satu jejaring sosial yang bertanya: "What's on your mind?" - seringkali, sebagian orang, menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban "What I feel".

Dunia maya dengan segala kelebihan dan kekurangannya menjadi suatu fenomena masa kini. Tidak hanya hal-hal positif yang dapat diperoleh dari dan melalui dunia maya, hal-hal negatif pun tidak dapat dihindari, cyber crime salah satunya. Jika cyber crime merupakan salah satu hal negatif yang merugikan, apakah 'pemalsuan' identitas di jejaring sosial termasuk kejahatan?

Memang pada akhirnya semuanya (akan) selalu kembali pada masing-masing individu. Dunia maya, bagi sebagian orang, bisa menjadi 'dunia' tempat eksistensi dirinya berada dan hidup. Namun bagi sebagian orang, dunia maya bisa jadi hanya sebuah ilusi belaka. Terlepas dari pandangan-pandangan tersebut, ada baiknya "ikut-ikutan trend" tidak menjadi alasan dari setiap kegiatan aktifitas hidup kita. Termasuk ketika kita memutuskan "membelah" eksistensi diri untuk "hidup" dalam dunia maya.

Kajian (ala kadarnya) tentang Pendidikan dan Etika

“Education is a social process. Education is growth. Education is, not a preparation for life; education is life itself.”

- John Dewey

Pendidikan merupakan bagian dari diri manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Manusia yang terus menerus mengalami proses becoming memerlukan pendidikan dalam menjalani kehidupannya sebagai being yang memiliki kesadaran. Komponen-komponen seperti content of value, channel, direction, dan media merupakan komponen penting dalam kehidupan seorang individu manusia. Semua komponen tersebut dapat diperoleh manusia di dalam pendidikan. Baik melalui pendidikan secara formal, informal, dan juga non-formal. Unsur terpenting dari pendidikan itu sendiri adalah individu (being with consciousness) itu sendiri, yang menjalani kehidupannya.


Disadari atau tidak oleh seorang individu, pendidikan telah menjadi way of living bagi seluruh umat manusia dalam dunia ini. Pendidikan yang dimaksud dapat diperoleh melalui pendidikan secara formal, yaitu melalui institusi pendidikan, ataupun melalui kehidupan keseharian. Pendidikan, yang diperoleh individu melalui cara apapun, telah membantu manusia untuk menjalani kehidupan dengan lebih terencana. Karena seorang individu pastinya memiliki goal yang ingin dicapai di dalam kehidupan. Dan dapat dikatakan, pendidikan merupakan alat bantu bagi setiap individu untuk mencapai goal yang menjadi tujuan dalam hidup. Pendidikan sendiri berkaitan erat dengan konsep manusia yang terus-menerus berproses, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pendidikan juga terus berproses dan pendidikan juga membantu individu untuk berproses.


Lalu apa kaitan pendidikan dengan etika? Term ‘etika’ dalam pendidikan tidak dapat terlepas dari aspek axiologi dalam pendidikan. Aspek axiologi yang terdiri dari etika, estetika, dan logika merupakan faktor pendukung yang cukup besar dalam pendidikan. Keterkaitan antara satu term dengan term lainnya menunjang proses pendidikan. Jika ada salah satu aspek yang terlupakan maka tidak dapat dipungkiri proses pendidikan dalam kehidupan seorang individu kurang maksimal. Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan pandangan atau opini pribadi tentang pendidikan dalam kaitannya dengan etika.


Kaitan antara etika dan pendidikan


Apa itu etika? Etika merupakan salah satu cabang filsafat yang mendasarkan pemikiran kritis pada ajaran dan pandangan moral dalam kehidupan manusia.[1] Etika merupakan ilmu yang mempelajari pemahaman di balik tindakan moral yang dilakukan oleh manusia. Etika secara garis besar mengajarkan kepada individu tentang perbuatan atau tingkah laku etis manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lainnya di dalam suatu komunitas ataupun sebagai makhluk berakal budi yang memiliki tujuan dalam hidupnya. Hal tersebut dapat dimengerti dalam bagaimana seorang individu dapat berpikir dan mengetahui tentang mana hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk.


Lalu apa kaitan pendidikan dengan etika? Kaitan pendidikan dengan etika tidak terlepas dari kata moral (dalam hubungannya juga dengan term “baik” dan “buruk”) dalam individu manusia. Manusia sebagai makhluk sosial, memiliki nilai-nilai moral yang tertanam dalam diri sejak kecil, yang tentunya diperoleh dari proses interaksi dalam masyarakat lingkup yang terkecil, yaitu, keluarga. Nilai-nilai moral yang diperkenalkan orang tua kepada anaknya sejak kecil merupakan pendidikan awal tentang nilai-nilai moral yang diterima oleh seorang individu tanpa harus terlebih dahulu memasuki institusi pendidikan (dalam hal ini dapat berlaku prinsip Education = Life). Sebagai contoh, sejak kecil Metha diajarkan oleh orang tuanya untuk tidak mengambil apapun yang bukan miliknya, karena hal tersebut bukanlah hal yang baik, itu dinamakan mencuri.


Apakah selesai sampai di situ? Tentu saja tidak. Manusia yang telah diperkenalkan tentang nilai-nilai moral sederhana dalam institusi keluarga akan mengalami perkembangan mengenai etika di dalam institusi pendidikan secara formal. Dalam hal ini, peranan logika sangat berkaitan erat dengan peranan etika dalam kehidupan manusia. Institusi pendidikana kan memacu kognitif individu manusia untuk memiliki keteraturan berpikir dan mengenal beberapa prinsip-prinsip ilmu pengetahuan melalui pelajaran-pelajaran yang diberikan dengan kurikulum yang telah ditetapkan dan diterapkan. Kognitif berkaitan dengan pemikiran dan juga logika, maka seseorang yang kognitifnya terasah akan memiliki kemampuan berpikir yang berjalan sesuai dengan logikanya atau budinya. Dengan demikian, individu manusia yang terasah kemampuan kognitifnya akan memiliki pikiran yang berjalan dan memiliki kemampuan untuk berpikir tentang yang baik dan yang buruk dalam kesehariannya.


Dengan demikian dapat dilihat peranan pendidikan dalam kaitannya dengan etika. Pengasahan kemampuan kognitif, psikomotorik serta afektif dalam institusi pendidikan dapat membentuk individu yang menyadari nilai-nilai moral dalam kehidupannya, serta mengerti mana hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk. Pendidikan yang mengasah kemampuan kognitif individu manusia juga akan mengubah perbuatan/tingkah laku/perbuatan seorang individu manusia, Mengapa demikian? Kembali lagi karena telah memiliki kemampuan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.


Kesimpulan


Pendidikan merupakan suatu yang memang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia yang terus berproses. Melalui pendidikan, baik dalam arti luas ataupun arti sempit, seorang individu dibentuk dan terbentuk menjadi pribadi yang memilki kemampuan kognitif, psikomotorik serta afektif yang terasah. Dalam hal ini, kemampuan kognitif yang terasah yang dipadukan dengan kemampuan afektif serta relasi dengan individu maunsia lainnya dalam institisi pendidikan akan membuat seorang individu manusia mengetauhi tentang hal yang baik dan hal yang buruk. Tentu saja hal dua tersebut sangat memiliki pengaruh dalam kehidupan manusia, terkhusus dalam proses pencapaian tujuan hidup yang ingin dicapai. Maka dari itu, sangat penting bagi seorang individu untuk dapat memahami serta membedakan tentang hal yang baik dan buruk, dan mana diantara dua hal tersebut yang mendukung atau justru mengganggu proses pencapaian tujuan hidup yang ingin dicapainya.



[1] Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.