01 December 2010

PMPK assignment. *sigh

Why do You create us differently if You only want to be worshipped in one way?
“Cina and Annisa love God and God loves them both.

But Cina and Annisa cannot love each other because they call God by different name."

-Cin(T)a: God is a director. (2009)

Tahun 2009 perfilman indie Indonesia dikejutkan dengan hadirnya film independen yang mengangkat tema perbedaan agama dalam sebuah hubungan yang terjalin antara seorang pria dan perempuan yang memiliki perbedaan usia dan latar belakang sosial-budaya. Cina (18 tahun), keturunan cina-medan, adalah seorang mahasiswa baru jurusan arsitektur yang bertemu dengan Annisa (24 tahun), berasal dari etnis jawa, seorang mahasiswa tingkat akhir jurusan arsitektur yang tugas akhirnya terhambat karena karirnya di dunia film. Cina dan Annisa bertemu secara tidak sengaja dan ketidaksengajaan tersebut membuat mereka menjalin hubungan pertemanan (yang lalu berkembang menjadi rasa cinta) meski akhirnya harus berpisah. Cina yang beragama Kristen, Annisa yang beragama Islam, saling mencintai satu sama lain, namun mereka harus berpisah hanya karena mereka mencintai Tuhan yang berbeda.

Film indie ini mendapat sambutan hangat dari pecinta film (indie) Indonesia. Para film-maker papan atas Indonesia pun memberikan apresiasi pada film ini. Tema yang diangkat memang terkesan klise, yaitu cinta, namun di sini diangkat pula isu perbedaan agama yang hadir dalam kisah cinta tersebut. Penulisan judul film yang unik, cin(T)a, memiliki daya tarik tersendiri. Huruf ‘T’ besar yang ada di dalam kurung merupakan Tuhan, tokoh sentral yang menentukan alur cerita film ini. Dialog cerdas mengenai argumen tentang Tuhan (yang dilontarkan oleh Cina dan Annisa) menjadi nilai plus tersendiri dalam film ini, bagaimana dua agama yang diwakili dua tokoh melihat problematika hidup, termasuk persoalan cinta. Film ini mungkin saja menjadi representasi dari fenomena cinta dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman budaya dan agama. Berdasarkan pengamatan penulis dari jejaring media sosial, banyak orang yang mengapresiasi film ini dikarenakan memiliki latar belakang kisah cinta yang sama dengan apa yang ada dalam film ini.

Jika dua orang yang saling mencintai tidak dapat bersatu hanya karena perbedaan agama, maka apa itu cinta? Pertanyaan mendasar ini mengusik benak penulis saat menonton film tersebut. Jika dua individu manusia yang saling mencintai tidak dapat bersatu apakah masih dapat dikatakan bahwa ada cinta diantara mereka? Dan bagaimana konsep cinta harus tetap dipercaya meski adanya pihak ketiga yang menjadi alasan ketidakbersatuan dua individu yang saling mencintai (dalam hal ini, pihak ketiga adalah Tuhan)?

Ada sudut pandang yang berbeda dari setiap individu dalam memahami arti kata dan konsep cinta, menurut Simone De Beauvoir, perbedaan situasi eksistensial antara perempuan dan laki-laki merupakan faktor bagaimana seorang perempuan dan laki-laki memahami konsep cinta di antara mereka. Dengan adanya perbedaan paham mengenai konsep cinta, apakah memungkinkan manusia bersatu dalam satu relasi atau ikatan cinta? Erich Fromm meyakini bahwa cinta merupakan hasrat yang paling memuaskan kebutuhan hasrat manusia yang tak terbendung. Dan menurutnya, cinta merupakan bentuk bersatunya individu dengan individu di luar dirinya.

Film cin(T)a merepresentasikan kisah cinta yang tidak dapat menemukan win-win-solution dalam pasangan berbeda agama. Larangan dan hal ke-tabu-an dari ajaran agama, seakan menjadi sebuah prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat dalam melihat pasangan berbeda agama. Tidak direstui, tidak diterima, tidak berkenan di hadapan Tuhan, demikianlah opini umum masyarakat pada pasangan yang berbeda agama. Mencintai Tuhan yang berbeda seakan menjadi penghalang bagi dua individu yang saling mencintai untuk bersatu. Pilihan eksistensial terlibat dalam hal ini, manakah yang harus dipilih untuk dicintai? Tuhan yang kita cintai atau individu lain yang kita cintai yang mencintai Tuhan yang berbeda dengan kita?




No comments:

Post a Comment