07 January 2010

Belief-Relief?

Hello there! How are you? Still the same blogger here. :P

Oke. Mau membicarakan apa kita hari ini? Hm, kebetulan saya ingat akan sebuah soal yang diberikan saat UTS Pengantar Filsafat di semester pertama. Soalnya simpel, saya hanya diminta memberi pendapat mengenai Atheis. Ada tiga soal UTS, dan nilai saya paling besar di nomor tersebut. Hahahaha. Mungkin karena jawabannya paling panjang dan ngalor ngidul dibandingkan dua nomor setelahnya.

Hm, orang awam, yang tidak mempelajari filsafat, pasti kalo denger filsafat langsung nyambung ke Atheis. Begitu juga sebaliknya. Padahal sih ngga begitu juga, seperti yang sudah saya singgung di post-post sebelumnya, filsafat bukan ilmu yang sesat. Oke, sekarang saya akan menuliskan jawaban atas pertanyaan saat UTS Pengantar Filsafat dulu itu dengan mengingat jawaban yang lalu dan apa yang sudah dipelajari setelahnya. Semoga masih ingat. Hahahaha.

Sedikit latar belakang. Asal mula pemikiran Atheisme ternyata bermula pada kaum Materialisme, dimana kaum ini tidak percaya pada segala sesuatu yang tidak berbentuk secara Materi. Sehingga kaum ini menentang tentang adanya tuhan dikarenakan tuhan bukanlah suatu materi. Kaum Materialisme ini merupakan asal-usul muncul Komunisme.

Lalu bagaimana pendapat saya tentang Atheis? Dalam jawaban di soal UTS itu, saya menolak Atheisme. Atheisme merupakan aliran yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Dimana penganut aliran ini percaya, bahwa tanpa tuhan otoritas hidup akan dipegang sepenuhnya oleh manusia itu sendiri.

Saya menolak atheisme, bukan berarti saya sanksi akan keberadaan para penganut atheisme. Orang-orang atheisme pasti ada. Dan saya yakin, pasti ada orang yang murni atheis. Benar-benar tidak mempercayai keberadaan tuhan dan tidak mengakui serta tidak terlibat dalam institusi agama dan ritual ke-agama-an. Saya hanya sedikit sanksi dengan orang yang mengaku-ngaku 'atheis'. Tetapi tidak sepenuhnya atheis. Karena di bibir mereka mengaku seorang atheis, tapi masih saja melakukan ritual keagamaan. Bahkan ada saja orang yang tidak mau mengikuti peraturan agama, tapi dalam hati 'berdoa'. Dengan demikian, apa konsep atheistik sebenarnya ada?

Tuhan telah lama di-'manusia'-kan oleh manusia menjadi sebuah Agama. Dan seiring perkembangan agama, terkadang penganut agama membuat tuhan-nya sendiri. Tak dapat dihindari pula bahwa Agama kadang justru menjadi sebuah organisasi, yang mengurus persoalan iman, moral, dan hal-hal religius yang kadang tak dapat dielakkan justru mengganggu ketentraman dan melanggar hak orang lain. (saking cintanya dengan Agama dan wahyu tuhan)

Sebenarnya apa yang dicari manusia dalam agama dan tuhan? Untuk apa kita beragama? Untuk apa kita bertuhan? Apa yang kita cari dan harapkan? Kebenaran? Kedamaian? Pembenaran akan kesalahan? Pengampunan? Dunia kekal setelah dunia?

Saya punya jawaban sendiri. Dan tentunya anda juga mempunyai jawaban sendiri.
Cukuplah kita simpan dan beritahukan kepada satu yang kekal itu. :)

05 January 2010

Just crossed my mind.

Hello there, it's me. Again. :)

Hm, sekarang ini, saya ingin sedikit menulis tentang berita yang sering didengar. Tentang pengajuan gelar Pahlawan Nasional untuk Alm. K H Abdurrahman Wahid, atau yang lebih sering kita kenal dengan nama Gus Dur. Beliau kita kenal juga sebagai Mantan Presiden RI ke-empat. Kepergian beliau beberapa hari yang lalu, membuat Indonesia kehilangan sosok Guru Bangsa, sekaligus tokoh Pluralisme Indonesia. Selama menjadi Presiden RI, Alm. Gus Dur memang dikenal sebagai sosok yang memiliki toleransi yang tinggi dan menghargai perbedaan etnis dan agama. Berkat beliau pula, masyarakat etnis tionghoa di Indonesia diakui dan dapat merayakan Imlek. (Dan hari raya Imlek juga dijadikan Hari Libur Nasional).

Setelah kepergian beliau, banyak kalangan yang mengatakan bahwa beliau pantas diberi gelar Pahlawan Nasional. Semalam, di salah satu talkshow di stasiun televisi swasta, beberapa perwakilan partai dan pemerintah berdiskusi mengenai hal tersebut. Saya menyimak dan sedikit merasa bingung. Pahlawan Nasional yang selama ini ada di mind-set saya adalah sosok pejuang yang melawan penjajah demi kemerdekaan Indonesia. Dan sekarang, dua mantan presiden diajukan untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional tersebut.

Sebenarnya apa arti Pahlawan Nasional? Dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Pada bab I/pasal 1/nomor 4 tertulis,
Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia

Dan di dalam UU tersebut, juga dipaparkan secara jelas mengenai pengajuan gelar, jenis-jenis gelar, dll. Diskusi di acara talkshow semalam membuat saya penasaran mengenai hal ini, maka saya mencoba mencari tahu lebih dalam soal UU Nomor 20 Tahun 2009, dan saya menemukannya di www.setneg.go.id. Pengajuan gelar Pahlawan Nasional ternyata tidak semudah yang masyarakat umum pikirkan. Karena harus dibentuk terlebih dahulu, Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dimana komposisi dari Dewan tersebut terdiri dari :
  • a. akademisi sebanyak 2 (dua) orang;
  • b. militer dan/atau berlatar belakang militer sebanyak 2 (dua) orang; dan
  • c. tokoh masyarakat yang pernah mendapatkan Tanda Jasa dan/atau Tanda Kehormatan sebanyak 3 (tiga) orang.
Dalam Bab V di UU Nomor 20 Tahun 2009, secara lebih lanjut dibahas mengenai Tata Cara Pengajuan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Bahwa untuk memperoleh Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, harus terlebih dahulu memenuhi syarat khusus dan syarat umum.

Syarat Khusus dituliskan pada pasal ke-25 dalam Bab V/UU No. 20/2009 :
a. WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI;
b. memiliki integritas moral dan keteladanan;
c. berjasa terhadap bangsa dan negara;
d. berkelakuan baik;
e. setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan
f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam.

Syarat Umum tertulis pada pasal selanjutnya, yaitu pasal ke-26 :
a. pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa;
b. tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan;
c. melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya;
d. pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara;
e. pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa;
f. memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau
g. melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.
Dalam talkshow semalam, beberapa kader partai beradu argumen mengenai panta-tidak-nya gelar Pahlawan Nasional diberikan pada dua Mantan Presiden, yaitu Alm. Soeharto dan Alm. Gus Dur. Lalu saya melihat perdebatan mengenai latar belakang kedua Mantan Presiden tersebut dan kepantasan dua tokoh penting RI pada zaman-nya masing-masing untuk menyandang gelar Pahlawan Nasional.

Alm. Gus Dur, memiliki banyak pendukung. Beliau dicintai oleh hampir seluruh rakyat Indonesia karena dirinya yang peduli dan menghargai perbedaan. Tak heran, jika sebutan 'Tokoh Pluralisme' melekat padanya. Banyak orang yang menginginkan beliau menyandang gelar Pahlawan Nasional, dengan melihat
track record jasa-nya kepada Indonesia. Tapi, seperti yang sudah saya uraikan di atas. Bahwa gelar yang diberikan oleh Presiden, ternyata juga harus melalui tahap pengkajian terlebih dahulu. Indonesia merupakan Negara hukum. Suatu Negara hukum, pastilah memiliki undang-undang yang mengatur ketentuan Negara tersebut. Untuk persoalan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, telah tercantum pada UU No 20/Tahun 2009. Kita, rakyat dan masyarakat Indonesia, yang jelas mencintai setiap pemimpin Indonesia, tidak perlu 'ngotot' untuk memperjuangkan tokoh yang kita cintai memperoleh gelar Pahlawan Nasional. Biarlah Pemerintah menjalankan Undang-undang tersebut, biarlah Pemerintah membentuk Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, untuk mengkaji tokoh yang diajukan untuk memperoleh Gelar Pahlawan Nasional.

Biarlah semua berjalan sesuai struktur yang ada. Jujur, saya merasa risih dengan pemberitaan mengenai pemberian gelar tersebut. Kenapa? Karena orang yang dibicarakan belum lama pergi menghadap Tuhan, jadi biarlah yang pergi dengan tenang. Mengutip jargon Alm. Gus Dur, "Gitu aja kok repot."

Tulisan ini bersifat opini pribadi.

Rujukan Tulisan : www.setneg.go.id ( UU No 20/Tahun 2009, Tentang : Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.


Selamat Jalan, Tokoh Pluralisme Indonesia, Alm. KH Abdurrahman Wahid. Indonesia sungguh kehilangan anda..

Sumber foto : Google.com

04 January 2010

Heidegger - 2

Hello there!

Kalo sebelumnya saya sudah nge-post tulisan soal Martin Heidegger dari tugas. Sekarang ini, saya kembali ingin menulis soal Heidegger dengan bahan-bahan kuliah. Maksudnya sekalian ngulang bahan kuliah juga sih. :D

Ngomong-ngomong soal kuliah, kenapa sih saya ngebahas Heidegger? Heidegger merupakan salah satu filsuf eksistensialisme. Eksistensialisme merupakan salah satu aliran filsafat yang menekankan keberadaan dari 'ada' itu sendiri. Hm, simpelnya sih, berbicara mengenai eksistensi manusia. Dari kata eksistensialisme sendiri, kita bisa tahu secara sekilas pasti. Eksistensialisme. Eksis? Nah, kan sering banget tuh kata eksis kita dengar di kehidupan sehari-hari. Eksis = terkenal. Bukan itu yang saya pelajari di kelas eksistensialisme, yang saya pelajari adalah berbagai pemikiran filsuf barat mengenai eksistensialisme, tentang konsep dari yang 'ada' itu sendiri.



Martin Heidegger, merupakan salah satu filsuf eksistensialisme yang cukup sulit saya pelajari. Saya menangkap maksud pemikiran eksistensialisme-nya, namun saya masih merasa belum menguasainya. Heidegger, memiliki rumusan eksistensialisme demikian :
Rocks "are" ; Only human being "exist"
Maksudnya apa? Maksudnya adalah, suatu eksistensi hanya bisa dipahami dengan kesadaran (consciousness). Batu itu ada ; tapi hanya manusia yang ada. Mudah dimengerti, batu itu ada, tapi tidak memiliki suatu eksistensi, karena batu tidak memiliki kesadaran.

Manusia dalam konsep eksistensialisme Heidegger, disebut Dasein. Dasein sendiri merupakan suatu "There being" yang berbeda dengan "Thing". Menurut Heidegger, ketika kita membicarakan eksistensi dari manusia, maka kita juga harus membicarakan dunia. Apa hubungan Dasein dengan dunia? Hubungan Dasein dengan dunia bersifat objektif - subjektif.
"Only Dasein constitute the world".

"To exist this being must relate to the world".
Kaitan antara Dasein dan dunia ditulis Heidegger dengan kata kunci "terlempar". Dasein yang terlempar ke dalam dimensi ruang dan waktu di dunia, merasa takut dan cemas tanpa alasan yang jelas. Dan untuk mengatasi keterlemparan-nya ke dalam dunia, Dasein harus menghadapi rasa takut dan cemas untuk bertahan hidup dan membentuk cara mengada-nya sendiri. Manusia tidak dapat melampaui dunia, manusia hanya dapat merorientasikan dunia.

Konsep eksistensialisme Heidegger bersifat lebih hitam-putih. Di sini, Heidegger menjelaskan konsep eksistensialisme dalam kehidupan sehari-hari. Maksud hitam putih di sini adalah,
  • Eksis sebagai individu yang menonjol, atau
  • Eksis sebagai pengikut suatu kelompok saja.
Hitam - putih, selanjutnya dibahas oleh Heidegger, sebagai suatu perang antara Dasein dan Dasman. Dasman merupakan The Other atau dengan kata lain, sebuah komunitas. Sedangkan Dasein merupakan individu atau Being yang otentik (sadar siapa dirinya, tanpa intervensi apa pun). Dasman, merupakan sebuah mainstream dari peradaban modern. Dimana Dasman, dapat menghapus keberadaan Dasein. Dasman sendiri merupakan The Other yang mengikuti peradaban modern. Lebih mudah dikatakan, bahwa Dasman merupakan 'orang atau sekelompok orang yang mengikuti trend'.

Well, i guess it's enough. Cukup membantu saya mengingat tentang filsafat Heidegger. :)

Sumber : Saraswati Dewi, M.Hum. dalam perkuliahan Filsafat Eksistensialisme, 19 November 2009.

Heidegger

Martin Heidegger (26 September 1889-26 Mei 1976) merupakan salah satu filsuf eksistensialisme yang mempunyai pengaruh cukup kuat di bidang fenomenologi dan ontologi. Dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan Katolik Roma, membuat Heidegger kecil bercita-cita menjadi seorang Imam. Karena itulah, dia masuk ke sekolah seminari lalu dengan bantuan gereja melanjutkan pendidikannya untuk mempelajari teologi Katolik, meski akhirnya berpindah ke filsafat. Dalam perjalanan hidupnya, Heidegger memiliki dua fakta yang cukup mengherankan. Dia adalah seorang filsuf yang brilian sekaligus seorang pendukung NAZI yang cukup menakutkan. Salah satu karya filsafatnya yang terkenal dan menjadi pendongkrak namanya di dunia filsafat sekaligus memberikan sumbangan berarti di filsafat Eropa adalah, Sein und Zeit (Being and Time).

Filsafat Heidegger

Filsafat Heidegger berawal dari sebuah pertanyaan sederhana"what is the meaning of being?". ‘Being’ menurut Heidegger merupakan suatu proses menuju ‘becoming’. Waktu dan eksistensi manusia merupakan dua hal yang saling kait mengait satu sama lain. Dalam Sein und Zeit (Being and Time), Heidegger menuangkan pemikirannya tentang ‘Ada’ dan ‘Waktu’. Dalam karya besarnya ini, Heidegger juga memperkenalkan satu istilah baru yang menjadi ciri khas pemikirannya yaitu, Dasein.

Dasein Menurut Heidegger

Dasein (Being There) merupakan konsepsi Heidegger tentang eksistensi partisipasi aktif di dunia (active participation in the world), bersamaan dengan keterbatasan inheren dan ancaman ketidak-otentikan (inauthenticity). Dasein merupakan nama baru bagi manusia.

Menurut Heidegger, kita ‘ada begitu saja’, ‘kita ada di sana’, di dalam dunia. Heidegger menyebut ini sebagai keterlemparan. Dasein, terlempar ke dalam dunia ini. Yang membedakan Dasein dari mengada-mengada lainnya adalah bahwa Dasein menyadari keterlemparan ini, lalu berupaya memahaminya.

Dasein dan dunia. Dasein berada di dalam dunia (dalam kondisi keterlemparannya), namun dunia tidak sama dengan bumi atau alam semesta belaka, melainkan – dari sudut pandang Dasein – suatu tempat untuk dimukimi. Hanya Dasein mengada yang bisa menduniakan ruang tempat ia berada. Di dalam dunia, tidak dapat disamakan dengan kata dalam pada kalimat ‘mobil ‘di dalam’ garasi. Dasein, bagi Heidegger, tidak pernah ada di dalam suatu ruang. Dasein – dalam arti harafiah – menduduki ruang. Kata ‘di dalam’ bagi Dasein berarti ‘bermukim’.

Sumber :

  • Human, All Too, Human. Youtube.
  • Hardiman, F. Budi. Heidegger dan Mistik Keseharian : Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit. Jakarta ; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2003.

03 January 2010

Post 1

Halo, now i'm trying so hard to think. What i should to write now.

Alrite, how about 'philosophy' ?

Awal masuk kuliah, setiap saya berkenalan dengan orang baru dan memberitahukan jurusan saya. Pasti orang baru tersebut akan mengeryitkan dahi dan bertanya, "Filsafat belajar apa?"
Sedangkan yang ditanya, saya, juga belum tahu saya akan belajar apa di filsafat. Dan sering kali yang keluar dari mulut mereka adalah, "Wah, hati-hati tuh belajar filsafat, jangan sampai jadi atheis atau gila yah.."

Jujur, saya bingung dan sempat takut dengan perkataan orang-orang itu. Tapi saya pikir lagi, mereka bukan orang yang mengambil jurusan filsafat. Mereka jelas tidak belajar filsafat. Tapi kenapa mereka memiliki pendapat demikian? Setelah mencari tahu, ternyata memang ada sterotype di masyarakat kita, bahwa belajar filsafat itu hanya menyesatkan. Dan orang yang belajar biasanya menjadi Atheis.

Setelah saya memulai pelajaran saya di jurusan filsafat. Saya justru merasa bingung. Dimana pelajaran yang membuat saya menjadi atheis dan sesat? Saya mempelajari pemikiran-pemikiran filsuf-filsuf barat dari yunani di semester satu. Lalu berlanjut ke pemikiran-pemikiran filsafat barat dari periode waktu selanjutnya. Saya menikmati meski sempat bingung, untuk apa saya belajar hal-hal ini?

Sekarang sudah tiga semester saya lalui. Sudah satu tahun berkuliah di jurusan filsafat, dan saya banyak berpikir dan berkontemplasi. Kenapa orang awam berpikir filsafat itu membuat seseorang menjadi atheis? Memang di filsafat mempelajari filsafat Ketuhan-an, tapi bukan berarti orang yang mempelajari filsafat meninggalkan tuhan bukan?

Bertuhan atau beragama, menurut saya, bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi komoditas publik. Itu hal pribadi. Itu bagian dari hidup masing-masing individu manusia. Memang pada akhirnya, manusia yang bertuhan dan beragama tidak bisa lepas dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan tuhan dan agama. Tapi apakah ke-iman-an seseorang juga harus menjadi suatu urusan bagi orang lain?

Bagi saya, jika individu mau atau tidak mau percaya pada tuhan dan agama, itu bukanlah hal yang harus diributkan atau dipersoalkan orang lain. Orang-orang yang berpikir, bahwa belajar filsafat akan menyebabkan kesesatan dan menjadi pribadi yang atheis. Saya rasa mereka perlu lebih membuka pikiran dan tidak begitu saja menelan bulat-bulat informasi yang diterima mengenai filsafat.

Kebiasaan manusia yang seperti inilah yang sering kita temui. Tidak mengerti benar atau bahkan belum mengetahui dengan benar suatu arti kata atau persoalan. Bertanya pada yang lain, yang lain pun hanya mendengar dari yang lain dan begitu seterusnya. Tanpa tahu siapa yang mencetuskan jawaban atas pertanyaan itu. Sehingga terjadilah lingkaran setan. Manusia terjebak dalam lingkaran ketidakpastian dalam ketidaktahuan-nya. Lalu, apakah manusia itu akan berhenti setelah menerima informasi dari sesamanya? Ada dua kemungkinan, yang pertama akan mencari tahu melalui literatur, yang kedua, hanya menerima tanpa berniat mencari tahu.

Manusia yang kedua merupakan hal yang menurut saya berbahaya bagi manusia tersebut. Dia hanya menampung, tanpa berniat mencari tahu lebih dalam. Saya rasa ini yang bisa dikategorikan sebagai orang yang (maaf) berpikiran kolot. Karena segala hal pasti berubah dan mengalami perubahan. Tapi dia tidak mau ikut berubah, apa yang ditampungnya tidak mau dirubahnya, hanya disimpan.

Filsafat itu ilmu pengetahuan. Bukan ilmu atheis. Bukan ilmu sesat. Bukan ilmu yang membuat orang menjadi gila. Sama seperti ilmu pengetahuan lainnya yang dipelajari oleh setiap individu manusia, saya yakin bahwa berguna atau tidaknya suatu ilmu tersebut bukan tergantung pada ilmu-nya, tapi pada individu yang mempelajarinya. Tugas filsafat adalah mempertanyakan segala sesuatu yang sudah ada (seperti : ilmu pengetahuan) bahkan yang belum ada. Mengkritisi. Mungkin bisa dibilang seperti itu. Bertanya dan terus bertanya, lalu menganalisa, dan kembali bertanya. Itulah filsafat.

Mempelajari filsafat, tidak sama dengan kita mempelajari ilmu ekonomi, ilmu hukum, ilmu komunikasi. Ilmu-ilmu tersebut, menghasilkan suatu kemampuan khusus, yaitu, mengerti mengenai teori ekonomi dan segala macam permasalahan ekonomi, mengerti hukum, menjadi pengacara, dll. Sedangkan mempelajari filsafat juga menghasilkan kemampuan yang khusus, yaitu, merubah pola pikir dan cara pandang orang yang mempelajarinya menjadi lebih kritis dan filosofis. Siapa bilang, belajar filsafat itu tidak berguna? Justru menurut saya, mempelajari filsafat, merubah anda menjadi seseorang yang berbeda dari manusia lainnya.

Well, i think it's enough for this post. Give your comments if you feel disagree or agree or something. See ya!